Senin, 02 Mei 2011

ZAKAT DALAM PENDIDIKAN ISLAM


A. Kedudukan Zakat Dalam Islam

Setiap orang Islam wajib melaksanakan ibadah zakat sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan yang berlaku, tidak seorangpun diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan zakat kalau perbuatan itu bertentangan dengan peraturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul dalam Al-Qur'an dan Hadits. Zakat merupakan kewajiban agama yang dibebankan kepada setiap orang Muslim yang mempunyai harta. Kewajiban itu sudah ada sejak agama Islam muncul di Kota Mekkah, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur'an yang turun di Mekkah mendorong manusia agar memperhatikan hak­-hak fakir miskin yang merupakan tujuan utama dari pelaksanaan zakat.
Al-Qur'an memberikan pengertian penuh dan terus menerus pada masalah sosial penanggulangan kemiskinan. Al-Qur'an ada kalanya merumuskan kata-kata "memberi makan fakir miskin", dan adakalanya dengan rumusan "mengeluarkan sebagian rezeki yang diberikan Allah SWT, memberikan hak peminta-minta, orang terlantar dalam perjalanan dan membayar zakat", serta rumusan-rumusan lainnya.[1]
Kewajiban Zakat di Mekkah belum ada ketentuan batas dan besarnya harta yang dizakatkan, itu diserahkan pada rasa keikhlasan dan perasaan tanggung jawab seseorang muslim kepada orang-orang lain yang membutuhkan sesama orang beriman. Sesuai dengan penjelasan Sayyid Sabiq yaitu : “Kewajiban Zakat di Mekkah dimula perkembangan Islam adalah secara mutlak, tidak dibatasi berapa besar harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, tidak pula jumlah yang harus dizakatkan. Semua itu diserahkan kepada kesadaran dan kemurahan hati kaum muslimin belaka.”[2]
Kewajiban seperti itu terus berlanjut sampai setelah Nabi hijrah ke Madinah, pada tahun kedua hijrah bersamaan dengan tahun 632 Masehi barulah ditentukan nisab dan besarnya harta yang dizakatkan. Hasbi Ash-Shiddiqy menyatakan antara lain : "Pada tahun kedua dari hijrah bersamaan dengan tahun 632 Masehi barulah syara’ menentukan harta-harta yang dizakatkan, serta kadarnya masing-masing.”[3]
Salah satu segi persoalan zakat adalah masalah distribusi zakat atau kepada siapa harta zakat tersebut disalurkan. Mengenai kemana distribusi/ penyaluran dari pada zakat, pada mulanya masih terbatas, hanya kepada fakir miskin saja. Hal ini dapat diketahui dari hadits riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas, ketika Nabi mengutus Mu'az bin Jabal ke Yaman, antara lain dipesankan:
عن ابن عباس قال : أن رسول لله صلى الله عليه وسلم معاذالى اليمن : انك تا تى قوما اهل كتاب فادعهم الى شهادة ان لااله الاالله, وان محمدرسول الله, فانهم اطاعوا لذلك فأ علمهم أن الله فذ فر ضى عليهم خمس صلوات فى اليوم والليلة, فا نهم أطاعوالذ لك فأ علمهم ان الله قد فرض عليهم, صدقة تأخذمن اغنيا ئهم على فقرا ئهم فان هم اطاعوا لذ لك فإيك وكرئهم أموا لهم وائف دعوة المظلوم فانه ليس بينها وبين الله حجاب (رواه البحارى)

Artinya:  Dari Ibnu Abbas berkata: Bahwasanyo Rasulullah SAW telah mengutus mu'az ke Negeri yaman Beliau berkata: Sesungguhnya engkau datang kepada suatu ahli kitab, maka ajaklah mereka untuk mengakui tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, jika mereka telah mentaatimu dalam hal ini, ajarkanlah kepada merekn hahwa Allah mewajihknn zakat yang diambil dari harta orang-orang kaya dan diberikan kepada fakir miskin, jika mereka menaati yang demikian terjaminlah kemuliaan harta mereka, dan takutilah do'a orang-orang yang teraniaya, maka bahwasanya tiada diantara mereka dan antara Allah tutupan (dinding). (HR. Bukhari)[4]


Dan ayat Al-Qur'an yang menyatakan tentang distribusi zakat secara jelas yaitu "kepada ashnaf yang delapan baru turun pada tahun kesembilan Hijrah. Sejak itu mulailah harta zakat dibagikan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat.”[5]
Adapun kedelapan golongan tempat disalurkannya harta zakat tersebut adalah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur'an surat At-­Taubah ayat 60.
انما الصد قت للفقراء والمسكين والعا ملين عليها والمؤ لفة قلو بهم وفى الر قاب والغار مين وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله  والله عليم حكيم ( التوبه : ٦٠ )

Artinya:  Sesungguhnya zakat–zakat itu hanyalah untuk orang– rang fakir, orang-orang miskin, pengurus–pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekan) budak, orang–orang yang berhutang untuk jalan allah dan orang–orang yang dalam perjalan, sebagai suatu ketetapan yang ditetapkan yang diwajibkan Allah; dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana (Q.S. At-Taubah: 60).

Untuk lebih jelas akan diuraikan pengertian kedelapan ashnaf yang tersebut dalam Firman Allah di atas sebagai berikut:
a. Fakir.
Menurut Imam Syafi'i yang dimaksud dengan fakir ialah: “orang yang sama sekali tidak mempunyai harta kekayaan dan tidak mempunyai usaha yang dapat memberikan hasil.”[6]
Sedangkan menurut imam Ghazali fakir adalah: “orang yang tidak mempunyai harta dan tidak sanggup baginya berusaha.”[7]
Demikian juga menurut Zakiah Daradjat, memberi pengertian fakir adalah: “orang yang melarat dan amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.”[8]
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan orang-orang fakir ialah orang-orang yang tidak mempunyai harta, tidak mempunyai usaha serta tidak sanggup berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
b. Miskin
Imam Ghazali menjelaskan pengertian miskin adalah: “orang-orang yang tidak cukup pendapatan (pemasukan) untuk pengeluaran yang dibutuhkan sehari-hari.”[9]
Menurut Imam Syafi'i miskin ialah: “orang yang mempunyai harta kekayaan atau usaha, tetapi kekayaan atau usahanya itu tidak cukup untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari.”[10]
Sedangkan menurut Zakiyah Daradjat miskin adalah: “orang yang mempunyai harta dan sanggup berusaha tetapi tidak cukup untuk penghidupannya.”[11]
Definisi-definisi tersebut di atas memberi pengertian miskin yaitu orang yang mempunyai harta, usaha dan masih mampu untuk berusaha, tetapi hasil pencahariannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Antara fakir dan miskin dapat dibedakan pada ada tidaknya harta serta sanggup tidaknya berusaha untuk mencukupi penghidupannya.
c. Pengurus Zakat (Para `Amil)
Yusuf Qardawi memberikan definisi amil zakat yaitu:
Mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat mulai dari pengumpul sampai kepada bendaharawan dan para penjaganya, juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat keluar masuknya zakat dan membagi kepada mustahiknya.[12]

Jadi Amil (pengurus) zakat ialah panitia zakat yang dipercayai dan mempunyai kemampuan untuk mengurus semua urusan yang berkaitan dengan harta zakat dan membagi-bagikannya kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan hukum Islam.
d. Muallaf

Yang dimaksud dengan mualluf adalah: “mereka yang diharapkan kecenderungannya hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam atau terhalang niat jahat mereka atas kaum muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh.”[13]
Muallaf menurut Mahmud Syaltut yaitu: “orang-orang yang masih lemah imannya dan khawatir bisa menjadi murtad apabila tidak diberi pembagian zakat dan juga orang-orang yang meminta bantuan bagi pencapaian kemaslahatan kaum muslimin yang sangat perlu.”[14]
Pengertian muallaf dapat dipahami orang-orang yang masih perlu dituntun hatinya supaya bertambah kuat keimanannya terhadap Islam dan orang-orang yang mengetahui kebenaran ajaran Islam secara khusus dan dia ikut serta dalam menciptakan kemaslahatan kaum muslimin.
e. Ar-Riqab              
Riqab adalah bentuk jamak dari Raqabah artinya: “budak belian. Istilah ini diterangkan dalam kaitannya dengan pembebasan dan perbudakan, seolah­olah memberikan isyarat bahwa perbudakan bagi manusia tidak beda seperti belenggu yang mengikatnya.”[15]
Menurut Mahmud Syaltut. Riqab ada dua macam: “pertama, di mana oleh tuannya dijanjikan merdeka setelah menyerahkan sejumlah uang. Kedua, yang dijual oleh tuannya kepada yang mau membeli lalu pembeli itu memerdekakannya.”[16]
Hak Riqab dalam senif zakat maksudnya untuk membebaskan atau melepaskan manusia dari semua belenggu perbudakan, baik itu yang sudah mempunyai perjanjian bebas atau yang dijualkan oleh tuannya ataupun untuk semua belenggu lain yang mengikat kebebasan manusia.
f. Gharimin
Menurut Imam Ghazali, Gharimin adalah:
orang yang berhutang pada mentaati Allah atau pekerjaan lain yang diperbolehkan sedangkan ia fakir. Kalau pada jalan kemaksiatan maka tidak diberi zakat kecuali setelah ia bertaubat. Kalau ia orang kaya tidak dilunaskan hutangnya dengan zakat kecuali ia berhutang untuk kepentingan umum atau memadamkan kekacauan.[17]

Ulama mazhab Hambali mengemukakan bahwa gharimin ada dua macam:
1.      orang yang berhutang untuk mendamaikan umat manusia.
2.      orang yang berhutang untuk mendamaikan dirinya dalam yang tergolong mubah bahkan haram sekalipun, akan tetapi ia telah bertaubat kepada Allah. Bagi orang tersebut diberikan harta zakat sesuai dengan kadar yang dapat menutup jumlah hutangnya.[18]
  Jadi Gharimin adalah orang-orang yang mempunyai atau menanggung hutang baik hutang tersebut untuk kepentingan pribadi yang bukan perbuatan maksiat maupun berhutang untuk kepentingan umum (kemaslahatan bersama), bagi mereka berhak mendapat saluran dana zakat dari senif Gharimin.
g. Sabilillah

Ibrahim Al-Bajury menjelaskan pengertian sabilillah ialah:
jalan yang dapat menyampaikan seseorang kepada keridhaan Allah melengkapi semua perbuatan atau amalan yang sifatnya mentaati Allah tetapi istilah ini sering dipakai baik 'uruf maupun syara' pada perang. Karena perang itu jalan shayadah (kesaksian) yang menyampaikan kepada Allah.[19]
Sedangkan menurut Mahmud Syaltut sabilillah adalah: “meninggikan kalimat Allah, mengembangkan dakwah Islam, menghadang musuh-musuh Islam yang merampas bumi dan harta orang Islam. Tegasnya sabilillah ialah semua usaha untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta meningkatkan kebaikan.”[20]
Harta zakat senif fisabilillah penyalurannya tidaklah tertentu pada orang dan perlengkapan berperang saja, akan tetapi bahagian ini dapat dipergunakan untuk semua kemaslahatan umum yang bersifat mewujudkan kebahagiaan dan keselamatan umat Islam kepada mendekati diri pada Allah SWT, seperti membangun mesjid, madrasah, tempat-tempat pendidikan, jalan­-jalan serta mempersiapkan penyebar-penyebar agama Islam, kemudian mengirim mereka ke negara-negara non Islam dan untuk semua kepentingan menegakkan kebenaran dan keadilan.
h. Ibnu Sabil
                            
Asy-Syaukany menegaskan Ibnu Sabil ialah : “orang yang ingin meneruskan perjalannya bukan pada jalan yang dipandang maksiat. Boleh jadi rencananya itu tidak berhasil tanpa ada pertolongan, maka diberikan kepadanya zakat sekedar menyempurnakan maksudnya.”[21]
Sedangkan menurut Yusuf Qardawi Ibnu Sabil adalah:
Orang yang kehabisan bekal dalam melakukan perjalanannya bukan untuk maksud maksiat dan orang yang melakukan perjalanan demi kemaslahatan umum, yang manfaatnya kembali pada agama Islam seperti bepergian sebagai utusan yang bersifat keilmuan atau amaliah yang dibutuhkan masyarakat dan negara Islam.[22]

Jadi yang dimaksud dengan golongan Ibnu Sabil disini adalah orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan yang maksud dari perjalannya tersebut bukan untuk maksiat dan orang-orang yang melakukan perjalanan untuk suatu kepentingan umum yang bermanfaat bagi negara dan masyarakat Islam.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa semua harta yang dikeluarkan oleh setiap orang muslim untuk zakat perlu disalurkan kepada sasaran yang berhak menerimanya sebagaimana telah ditetapkan dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 60, untuk dipergunakan sesuai dengan keperluan masing-masing sasaran tersebut
Dari pernyataan di atas penulis dapat menyimpulkan tentang kedudukan hikmah zakat adalah zakat salah satu sumber kekayaan orang Islam, sehingga dapat memberdayakan diri dari masing-masing ashnaf menurut yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadist.
Setelah ashnaf tersebut menerima haknya masing-masing, mereka dapat merasakan kenikmatan yang diberikan oleh Muzakki dan mereka dapat memberdayakan pendidikan anak-anak dan terbangun dari lembah kemiskinan, dengan demikian, jelaslah bahwa kemanfaatan zakat dapat didayagunakan secara efektif dan seefisien mungkin. Dengan dana tersebut dapat membawa ashnaf ke arah kesejahteraan, bukan digunakan untuk konsuntif semata, tetapi dapat terbangun solidaritas sosial, anggaran umat, sumber ekonomi dan dapat menciptakan masyarakat yang mandiri, berpancasila sejati dan bertakwa kepada Allah Swt.

B. Zakat dalam Al-Qur'an dan Sunnah

Zakat menurut bahasa artinya suci dan subur.”[23] Sedangkan menurut istilah syara' ialah “mengeluarkan sebagian dari harta benda atas perintah Allah, sebagai sedekah wajib kepada mereka yang telah ditetapkan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam.”[24]
Mengeluarkan zakat hukumnya wajib bagi setiap orang muslim yang telah mempunyai harta benda menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Orang yang mengingkari kewajiban zakat dihukum kafir.[25]
Orang yang enggan atau menangguhkan mengeluarkan zakat dari masa wajibnya, sekali-kali tidak boleh, kalau harta benda itu hilang maka wajib diganti sesuai dengan jumlah wajib yang harus dikeluarkan.[26]
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat. At-Taubah ayat 11, sebagai berikut:
فان تا بوا واقاموا الصلوة واتواالزكوة فاخوانكم فى الدين ونفصل الايات لقوم يعلمون ( التوبة : ١١)
Artinya: Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. (S. At-Taubah ayat 11)
Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai mukjizat melalui perantaraan malaikat jibril dan merupakan ibadah bagi siapa yang membacanya. Di dalam AI-Qur'an ditemukan jawaban tentang berbagai macam permasalahan karena Al-Qur'an merupakan sumber hukum yang utama dari pertama bagi umat Islam dan pengertian zakat-pun dipahami dari ayat-­ayat Al-Qur'an.
Dalam surat Al-Bayyinah ayat 5:
وما أمرو ألا ليعبدوالله مخلصين له الدين حنفاء ويقموا الصلوة ويؤ تواالز كوة وذلك دين القيمة (البينة: ٥ )

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankannya dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.(Q.S. Al-Bayyinah:5)

Dan selanjutnya menurut hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda:
امرت ان اقا تل الناس حتى يشهدوا ان لااله الا الله وان نحمدارسول الله ويقيموا الصلوة ويؤتوا الزكواة فاذا فعلوا ذلك عصموا دمائهم واموا لهم الا يحق الا سلام وحسا بهم على الله ( رواه البخا ر)

Artinya: Aku diperintahkan untuk mengadakan perang dengan orang-orang sampai mereka mPnyatakan tidak ada Tuhan selain Allah dan percaya kepadaku (Muhammad) serta menerima apa yang telah aku sampaikan, jika mereka telah melakukannya mereka akan memperoleh jaminan hidup dan harta dariku kecuali kedudukannya dalam Islam, dan untuk hal itu mereka bertanggung jawab kepada Allah. (H.R. Bukhari)[27].

Setelah Rasulullah Saw wafat, sebagai khalifah yang memegang kepemimpinan adalah Abubakar, karena ia mempunyai pandangan yang paling dalam tentang cita-cita, prinsip dan tujuan Islam. Suatu pandangan yang sudah dipertimbangkan secara masak adalah bahwa penolakan pembayaran zakat ke Baitul Mal akan dihukum mati.
Abu Hurairah telah menceritakan secara detail tentang kejadian yang membuat Abu bakar menetapkan keputusan ini. Pendapat ini menimbulkan perbedaan pendapat dengan Umar bin al-Khattab tentang masalah ini. Namun perbedaan pendapat ini akhirnya terselesaikan dan Umar mengakui kebenaran pendapat Abubakar yang ternyata lebih tepat.[28]
Abu bakar akan benar-benar memerangi orang yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat merupakan kewajiban terhadap harta yang sudah semestinya, Abubakar bersumpah jika mereka menolak membayarkan apa yang biasa mereka bayarkan dimasa Rasulullah, maka Abubakar akan memeranginya sehingga Umar mengatakan pendapat Abubakar begitu jelas akan ketetapannya sesuai dengan kedudukannya dan yakin bahwa ia memang benar.
Suatu kebenaran, bahwa segala sesuatu itu hakikatnya adalah kepunyaan Allah. Dia adalah pemilik untuk dari segala sesuatu yang sudah diakui secara dalam bagi kehidupan kaum muslimin. Sehingga mereka menganggap dirinya sebagai penguasa saja dari seluruh kejayaannya dan tidak menggunakan harta miliknya atas kehendaknya semata-mata.
Al-Qur'an telah menyempurnakan keyakinan mereka dalam doktrin perwakilan dan penguasaan, disamping telah meyakinkan kepada mereka tentang hal-hal yang baik selama didunia. Demikian juga, sekalipun mereka telah berupaya mencari dengan keringat dan jerih payah, tetapi mereka tetap mengembalikan kepada Allah dengan kebajikan yang diharuskan di dalam Islam. Inilah yang selalu ditekankan oleh kaum muslimin jika ia mengkaji peraturan yang diakui dalam Islam. la akan mengatakan bahwa hak-haknya sudah diserahkan kepada Allah yang kali ini menghendaki pengambilan lagi terhadap apa yang sudah dia berikan. Allah telah memberi kekayaan mereka dari para penganut Islam dan bisa menuntut kembali jika dia menghendaki.
Di dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa untuk tidak menghancurkan diri sendiri, hendaknya umat manusia mengorbankan hartanya di jalan Allah disamping mengorbankan kehidupan dan kejayaan di dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan pertahanan agama Islam.[29]

وانفقوا فى سبيل الله ولا تلقوا با يديكم الى التهلكة واحسنوا ان الله يحب المحسنين (البقرة : ١٩٥)

Artinya :  Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah  kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Baqarah : 195)

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman sebagai berikut:
مثل الذين ينفقون اموالهم في سبيل الله كمثل حبة انبتت سبع سنا بل فى كل سنبلة ما ئة حبة والله يضا عف لمن يشاء والله واسع عليم , الذين ينفقون امولهم في سبيل الله ثم لايتبعون ماانفقوا مناولااذى لهم اجرهم عند ربهم  ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون ( البقرة: ٢٦١-٢٦٢)

Artinya: Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah itu ibarat sebuah biji yang tumhuh menjadi tujuh tangkai. Pada setiap tangkai itu terdapat seratus biji. Dan Allah akan melipatgandakan balasannya bagi siapa yang dikehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang­orang yang menafkahkan hartanya pada jalan Allah, kemudian disusul dengan menyehut-nyebut apa yang dinaJkahkannya itu dan tidak pula (melakukan tindakan) yang menyakitkan hati, mereka  memperoleh pahala dari Tuhan-Nya. Dan mereka tidak merasa takut dan tidak pula bersedih hati. (Q.S. Al-Baqarah : 261-262)

Menurut ayat tersebut diatas menunjukkan makna umum yaitu segala sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Swt.
Di mana zakat dalam pengertian amal (infaq) dan shadaqah zakat, dari Abu Daud mengeluarkan Hadits dari Ibnu Abbas, dari Nabi SAW beliau bersabda:
... انالله لم بفرض الزكوة الا ليطيب ما بقى من اموالكم ...
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan zakat melainkan untuk membersihkan apa yang sisa dari hartamu. (HR. Abu Daud)[30]

Kemudian ada semacam pertimbangan tentang barang-barang kolektif yang meliputi swadaya masyarakat, pemenuhan kebutuhan pokok kaum fakir miskin dan memberi kesempatan kepada setiap individu untuk mendapatkan kehidupan secara layak. Dengan demikian, ia bisa menunaikan kewajibannya baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia untuk mencapai titik kesadaran akan dirinya sendiri.
Para sarjana muslim yang telah banyak mempelajari Al-Qur'an secara mendalam, As-Sunnah dan ilmu pengetahuan Islam, disamping menjauhkan diri dari berbagai pengaruh luar yang sangat berbahaya, dan telah mempelajari permasalahan agama (Tauhid) serta memilih jalan yang benar di dalam mengkaji dan memahami Islam, sudah barang tentu akan memprioritaskan tujuan dan keharusan yang akan dicapai sesuai dengan perintah syariat.
Dalam hal ini, aspek zakat merupakan kewajiban yang sangat mendapatkan penghargaan dari para orang muslim secara sadar, mereka pun berupaya menjalankan dan menginternalisasikan kepada generasi berikutnya. Di dalam rangka mewujudkan satu bagian kecil tugas kerasulan. Dalam membahas ini, kami akan mengemukakan berbagai pendapat yang dinyatakan oleh berbagai kalangan ahli agama, sehingga pembaca dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang pokok-pokok yang tersirat di dalam zakat.
Syeikh Waliyullah Ad-Dahlawi: "Ketahuilah bahwa ada tujuan yang utama di dalam pelaksanaan zakat. Pertama adalah disiplin diri, karena adanya kaitan antara kesadaran manusia dibawah sadarnya dengan sikap tamak.”[31] Ketamakan merupakan sikap yang dapat menjuruskan pada kesesatan kelak di akhirat. Sikap hati seseorang manusia rakus akan selalu terikat dengan harta sekalipun disaat-saat akhir masa kehidupannya. Karenanya, ia akan menerima hukuman kelak dihari kemudian. Namun, jika ia sudah terbiasa mengeluarkan zakat, maka nafsu terhadap harta akan mengalami degradasi, disamping merupakan sumber yang sangat menguntungkan kelak di akhirat.
Diakhirat, kebajikan moral yang sangat menonjol, selain perasaan cinta dan takut kepada Allah, adalah sikap kedermawanan. Lain halnya dengan kesalahan, shalat, berdo'a dan taubat yang merupakan sarana untuk menempa identitas diri dengan dunia yang Maha Agung ini. Karenanya, kemurahan hati merupakan alat untuk merobahkan pola exsistensi duniawi yang sempit dan hina. Sebab, asal dari sikap murah hati itu adalah penghancuran terhadap sifat kebinatangan. Tujuan sesungguhnya adalah agar sifat-sifat ukhrawi menempati tempat pada kedudukan teratas dan sifat kebinatangan dapat tertindas atau lambat laun menjadi sama, berkembang dengan kelas-kelas sifat kemanusiaan, yang termasuk di dalamnya sifat ukhrawi. Diantara jalan untuk mencapai sifat ukhrawi itu adalah mengeluarkan harta benda hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan, mengeluarkan kekayaan di jalan Allah, mcmberi maaf kepada orang lain yang menganiaya dirinya, tabah menghadapi musibah dunia lantaran keyakinannya terhadap hari kiamat.
Allamah Bahrum Ulum mengatakan "Bahwa zakat bukanlah pajak, tetapi zakat merupakan ibadah secara ikhlas hanya kepada Allah, seperti ibadah-ibadah lainnya". Dia menambahkan, bahwa niat sangat diperlukan ketika pembayaran zakat, karena bentuk utamanya adalah ibadah, sama seperti halnya shalat, harus tidak disertai pertimbangan lain secara kebahagiaan diakhirat nanti. Jadi, niat merupakan awal perbuatan yang sangat penting di dalam masalah zakat, sama seperti shalat yang tidak bisa dikerjakan tanpa niat. Zakat juga tidak bisa dibayarkan tanpa niat. Tetapi, jika shalat itu dilakukan tanpa niat, hal itu merupakan latihan yang tak berpahala. Sedangkan zakat yang dilakukan tanpa niat, maka menjadi hadiah. Dan pemberian hadiah akan mendapatkan pahala yang sama sesuai dengan jumlah hadiahnya, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan kebajikan seseorang.[32]

C. Perkembangan PemahamanTentang Pentingnya Zakat.
 Allah telah menjadikan perumpamaan bagi orang-orang yang menafkahkan harta mereka dijalan Allah, sebagaimana firmannya yang terdapat dalam  surat Al-Baqarah ayat 265.
ومثل الذين ينفثون اموا لهم بتغاء مرضا ت الله وتثبتا من انفسهم كمثل جنة بر بوة اصا بها وابل فاتت اكلها ضعفين فان لم يصبها وابل فطل والله بما تعملون بصير ( البقره : ٢٦٥ )

Artinya: Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta  karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak rnenyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.(Q.S. Al-Baqarah : 265).

Allah menjelaskan bahwa orang yang menafkahkan hartanya di jalan keridhaan-Nya seperti orang yang menanami kebun didataran tinggi, lalu disirami oleh hujan deras maka berbuahlah kebun itu dua kali lipat dalam setahun. Maka Allah menjelaskan selanjutnya kalau tidak disirami oleh hujan yang deras, maka disirami oleh gerimis, sehingga kebun tersebut tetap berbuah. Begitu juga dalam perkara infaq, artinya orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah memetik buah dari hasil infaq berupa pahala yang berlipat-lipat.
Sesunggulnya mengeluarkan zakat itu termasuk menolong orang yang lemah dan menggembirakan orang yang sedih dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran dosa dan mensucikan akhlak dengan dermawan, mulia jauh dari sifat kikir dan bakhil. Allah Swt memberikan berbagai nikmat pada orang-orang kaya dan melebihkan mereka dengan nikmat dan harta yang melimpah ruah melebihi kebutuhan pokok mereka. Sehingga mereka dapat memanfaatkan dan menunaikan zakat kepada mustahiq merupakan bagian dari cara bersyukur kepada Allah.
Kebangkitan zakat bersama dengan kebangkitan ekonomi Islam merupakan harapan umat Islam dimasa yang akan datang, disebabkan zakat merupakan inti dari ajaran ekonomi Islam dan perkembangan ekonomi merupakan jawaban yang aktual terhadap masa depan. Dikalangan para intelektual islam berjalan seirama dengan makin menguatnya perekonomian Indonesia dan peralihan orientasi memberikan harapan yang besar, semoga dengan perkembangan perzakatan dan ekonomi Islam, maka akan bisa terwujudnya pendidikan Islam, sejak dulu sampai sekarang persoalan ekonomi tetap merupakan persoalan penting, tetapi belum ada terobosan baru dalam membangun sistim ekonomi yang dapat mensejahterakan umat manusia.
Harapan yang harus dibangun dari ajaran zakat pada akhirnya dapat menjadi sumber dan sistem ekonomi baru di masa yang akan datang, dengan pendekatan transpormatif diharapkan menjadi pendekatan yang dapat memicu usaha yang sangat monumental ini. Inilah kedudukan Islam tentang zakat dalam visi masa depan.
Sistim ekonomi perzakatan supaya menjadi suatu perikehidupan ekonomi yang adil, menjamin pertumbuhan, pemerataan, kebersamaan, kesejahteraa,n, menjamin keselamatan sumber daya, menghormati harkat dan martabat manusia dan dapat mencegah berbagai konflik serta pertentangan dalam masyarakat.

D. Implementasi Zakat Dalam Kehidupan
Zakat merupakan suatu kewajiban dalam agama Islam yang dibebankan kepada setiap pemeluknya, setiap manusia yang telah memeluk agama islam wajib  untuk menunaikan zakat dan kemudian membagikantnya kepada yang berhak menerimanya. Sesuai dengan Hadits riwayat Bukhari dari Ibu Umar yang berbunyi:
عن ابن عمر قال: قال رسول صلى الله عليه وسلم بني الاسلام عل خمسن شهادة ان لااله إلا لله وان محمد رسول الله وإقام الصلاة وايتاء الز كاة والحج البيت وصو م رمضان ( رواه البخارى )

Artinya:  Dari Ibnu Umar berkata : telah bersabda Rasulullah SAW Islam didirikan atas lima dasar, mengaku tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan Haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)[33]

Berdasarkan hadits Rasulullah Saw di atas, maka jelaslah bahwa zakat merupakan salah satu dasar berdirinya agama Islam, karenanya implementasi penyeluruhannya harus benar-benar dilaksanakan menurut aturan yang berlaku dengan berpedoman kepada Al-Qur'an, hadits serta Ijmak ulama mengenai implementasi tentang zakat dan berbagai macam penerapannya di dalam masyarakat Islam. Hal ini terjadi dikarenakan pemahaman yang berbeda-beda tentang pengertian dan kegunaan zakat.
Maka ketahuilah pada masa manusia itu berubah-ubah. Pada umumnya orang kaya tidak selamanya kaya begitu juga orang fakir tidak selamanya berada dalam kefakirannya.
قال الشا فعى: قال الله تبارك وتعالى, انما الصدقات للفقراء والمسا كين والعاملين عليها والمؤ لفة قلوبهم وفى الرقاب والغارمين وفى سبيل الله وابنالسبيل فأحكم الله عزوجل فرض الصدقات فى كتابه ثم كدها فقال فر يضة من الله قال: وليس لأحد أن يقسمها على غير ما قسمها الله عزوجل عليه ذلك ماكانت الأ صناف مو جودة

Artinya: Imam Syafi’i ra, berkata: “Bahwa  Allah telah berfirman sesungguhnya  zakat itu adalah dibagi-bagikan untuk orang-orang yang fakir, miskin, pengurus zakat (amil), muallaf (orang yang baru masuk Islam), orang yang memerdekakan budak, orang yang berutang, orang yang berperang sabil dan orang yang sedang musafir. Allah telah  mewajib zakat itu dalam Al-Qur'an dan menambah kuat lagi dengan perkataannya sebagai suatu ketetapan yang mesti dijalankan. Imam Syafi'i melanjutkan.fatwa beliau : Maka tiada hak bagi siapapun untuk membagi-bagikan zakat kepada siapa saja selain kepada yang sudah ditetapkan Allah dalam Al-Qur'an.”[34]

Maka tegaslah bahwa zakat hanya diberikan kepada ashnaf yang delapan, tetapi kalau sebagiannya tidak terdapat pada suatu tempat, maka zakat diberikan kepada golongan yang ada saja.
Zakat dibagikan untuk fakir miskin yang berdomisili  ditempat orang yang mengeluarkan zakat. Selanjutnya esensi dari zakat adalah takut kepada Allah, kewajiban mengabdi kepada-Nya, mencari keridhaan-Nya, diberikan kepada fakir miskin, budak belian dan untuk kebaikan, merupakan belas kasihan dan merupakan pengorbanan diri. Maka siapapun yang meneliti sejarah masyarakat Islam, terutama tinjauan aspek moralnya, yakni dari segi pelaksanaan perintah-perintah Allah, tindakan-tindakan yang dibolehkan dalam Islam, kelaziman karunia, kedamaian dan kebahagiaan karena melakukan syariat.
Dalam pelaksanaan (implementasi) zakat dapat juga dibagikan atau dilakukan dengan cara:
-         Langsung dibagi-bagikan oleh yang punya zakat sendiri
-         Dikumpulkan oleh Imam dengan perantaraan amil dan sesudah itu dibagi­-bagikan kepada yang berhak menerimanya.
Mengenai hal tersebut di atas, kalau zakat itu dibagi-bagikan oleh yang punya zakat, maka ashnaf tinggal tujuh lagi, sebab siamil sudah tidak punya hak atau gugur haknya.
Selanjutnya zakat yang telah diberikan kepada fakir, miskin, amil, muallaf  tidak boleh diminta lagi, tetapi kalau yang sudah diberikan kepada gharim, fisabilillah dan ibnu sabil dapat ditarik kembali kalau ternyata zakat itu tidak dipergunakan untuk tujuannya.
Umpamanya zakat diberikan untuk memerdekakan dirinya, tetapi   setelah uang zakat diterimanya kemudian dipergunakan untuk keperluan lain, maka hal yang demikian zakat itu dapat ditarik kembali. Begitu juga zakat yang diberikan untuk perang sabil, untuk membayar hutang dan untuk mushafir dapat ditarik kembali kalau yang menerimanya tidak mempergunakan untuk maksud semula.
Ada fatwa dalam madzhab Syafi'i yang membolehkan pembagian zakat kepada satu golongan saja, tetapi adalah lebih baik supaya zakat itu diberikan kepada sekurangnya tiga golongan umpamanya fakir, miskin dan gharim.[35]
Nabi Muhammad Saw biasa mendo'akan dengan mengucapkan bahwa beliau berselindung kepada Tuhan supaya jangan menjadi seorang fakir yang sangat miskin. Tersebut dalam hadits :
عن أبى هريرة رض الله عنه أن أنبى صعم. كان يكل الهم  الهم إنى اعوذبك من الفقر والقلة والذ لة واعوذ بك من ان أظلم أو أظلم (رواه ابوداود )
Artinya:   Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW berkata (dalam do'anya) Ya Allah, saya berselindung kepada-Mu dari fakir, dari kekurangan, dari kehinaan dan saya berselindung kepada-Mu dari menjadi penganiaya atau menjadi orang yang teraniaya. (H.R. Abu Daud)[36].

Kalau Nabi sudah minta berlindung kepada Tuhan dari sesuatu, maka ini berarti sangat jelek keadaannya.
Harta zakat akan kacau balau dan tidak akan terletak pada tempat yang sebenarnya, kalau setiap orang boleh mengangkat dirinya menjadi amil, boleh menunjuk orang lain menjadi amil, atau suatu perkumpulan mengangkat amil dari siapa saja yang disukainya, apalagi si amil itu tidak berhak menerima sebagian zakat itu untuk pribadinya.

E.  Zakat Dapat Meningkatkan Rasa solidaritas

Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan antara beberapa individu dalam suatu wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu - individu tersebut, namun ia tidak dapat dimemisahkan dirinya. Manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakatnya, sekian banyak pengetahuan diperolehnya melalui masyarakat, seperti bahasa, adat istiadat dan sopan santun.
Demikian juga dalam bidang material betapapun seseorang memiliki kepandaian, namun hasil yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung dan disadari maupun tidak. Seseorang petani dapat berhasil karena adanya irigasi, alat-alat, makanan, pakaian, stabilitas keamanan yang kesemuanya tidak mungkin dapat diwujudkan secara mandiri.
Demikian seorang pedagang harus disadari bahwa produk apapun bentuknya, pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang diciptakan dan dimiliki Tuhan. Dalam berproduksi manusia hanya mengadakan perubahan, penyesuaian, perakitan satu bahan dengan bahan lain yang telah diciptakan Allah Swt. Manusia mengelola, tetapi Tuhan yang menciptakan dan memilikinya dengan demikian wajar jika Allah memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang diamanatkannya kepada seseorang demi kepentingan orang lain.
Manusia berasal dari satu keturunan, antara seseorang dengan lainnya dapat bertalian darah, dekat atau jauh, kita semua bersaudara. Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya persamaan-persamaan lain, yaitu agama, kebangsaan dan lokasi domisilinya.
Nah, kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantarkan kepada kesadaran menyisihkan sebagian harta kekayaan khususnya kepada mereka yang membutuhkan (Mustahiq) baik dalam bentuk kewajiban zakat maupun sedekah dan infak:
1. Mengikis habis sifat-sifat kikir dalam jiwa seseorang, serta melatihnya memiliki sifat-sifat dermawan dan mengantarnya mensyukuri nikmat Allah sehingga akhirnya ia dapat menyucikan diri dan mengembangkan kepribadiannya.
2. Menciptakan ketenangan dan ketentraman, bukan hanya kepada penerima, tetapi juga kepada pemberi zakat, infak dan sadakah.
3. Mengembangkan harta benda, yaitu ketenangan bathin dari pemberi zakat akan mengantarkannya berkonsentrasi dalam pemikiran dan usaha pengembangan harta. Penerima zakat akan mendorong terciptanya daya beli dengan adanya pemberi zakat.[37]

  Dari ketiga inti di atas, bahwa hubungan persaudaraan bukan sekedar hubungan mengambil dan menerima atau pertukaran manfaat tetapi melebihi itu semua yaitu memberi tanpa meminta imbalan dan membantu tanpa dimintai bantuan.
 Umat Islam sebagai Umat yang bersaudara baik dalam praktek amalan­ - amalan ibadah maupun dalam praktek kehidupan manusia itu sendiri di dalam masyarakat. Sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Hujarat ayat 10 yang berbunyi:
إنما  المؤ منو نا خوة فأ صلحوا بين أخويكم واتقو الله لعلكم تر حمون ( الحجرات :١٠)

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukim itu adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujarat: 10)


 Karena itu Islam menganjurkan untuk saling tolong menolong dalam urusan-urusan kebaikan dan dilarang tolong menolong dalam pekerjaan-pekerjaan dosa. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 2 antara lain berbunyi:
وتعاونواعلى البروالتقوى ولا تعاون اعل الاثم والعدوان( الما ئدة: ٢)

Artinya:  Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Q.S. Al-Maidah: 2)

Masyarakat yang beragama. Sebagaimana dijelaskan oleh H. M. Arifin, “bahwa bila mana manusia sebagai makhluk sosial itu berkembang, maka berarti pula manusia itu sendiri adalah makhluk berkebudayaan, baik material maupun moral.”[38]
Manusia yang berstatus makhluk sosial itu harus tumbuh di dalam jiwanya rasa tanggung jawab kepada masyarakat di mana ia hidup, untuk mengembangkan aktifitas, baik moral maupun materialnya. Orang yang benar-benar bertaqwa kepada Allah Swt, telah tumbuh dan terbina di dalam dirinya rasa sosial dan rasa cinta - mencintai untuk saling bantu membantu dan kasih - mengasihi. Sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw:
عن النعمان بن بشر قال : قال رسول الله صلىالله عليه وسلم ثرى المؤ منين فى توا دهم وترا حمهم وتعا طعهم مثل الجسد إذ اشتكى منه عضو تدا عن له سا ئر الجسد لسهر والحمى ( رواه مسلم )
Artinya: Dari Nu'man bin Basyir berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW, Engkau dapat melihat orang-orang yang beriman itu, dalam kasih mengasihi dan saling balas membalas serta cinta mencintai adalah sebagaimana satu tubuh. Apabila salah satu dari anggota tubuh itu merasa sakit, maka seluruh anggota dari tubuh itu ikut merasakannya. (H. R. Muslim)[39]


F. Perumusan Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti dalam data-data yang terkumpul.[40] Adapun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu: “Adanya pengaruh zakat dalam menyukseskan pendidikan di Kabupaten Bireuen."



[1]Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Study Komperatif mengenai status dan Filsafat Zakat berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, Terj, Salman Harun, Dkk, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2007), hal. 63.

[2]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj, Mahyuddin Syaf, Juz III, (Bandung: Al-Ma'arif, 2001), hal. 5.

[3]Hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Zakat, (Jakarta:  Bulan Bintang, 2000), hal. 32.

[4]Imam Bukhari, shahih Bukhari, Juz I, (Beirut: Darus Sya’By, t.t), hal. 130

[5]Hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Zakat,…hal.7

[6]Ash-Syafi'i, Al-Umm, Juz II, (Mesir: Maktabah Al-Kulianty, t.t), hal. 71.

[7]Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Mesir: Maktabah Al-Baby, t.t), hal. 250.

[8]Zakiah Darajat, Ilmu Fiqih, Jilid I, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2001), hal. 240.

[9] Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I,…hal. 250.

[10]Ash-Syafi'i, Al-Umm, Juz II,…hal.71.

[11]Zakiah Darajat, Ilmu Fiqih, Jilid I,…hal. 240.

[12]Yusuf Qardawi., Hukum Zakat, Study Komperatif mengenai status dan Filsafat Zakat berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits,… hal. 545.

[13]Ibid, hal. 563.

[14]Mahmud Syaltut, Islam Aqidah dan Syari'ah, Terj. Abdurrahman Zain,  (Jakarta: Pustaka  Amani, 2000), hal. 154

[15]Yusuf Qardawi., Hukum Zakat, Study Komperatif mengenai status dan Filsafat Zakat berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits,…hal. 587.

[16] Mahmud Syaltut, Islam Aqidah dan Syari'ah,… hal. 156

[17]Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I,…hal. 258.

[18]Abdurrahman Al-Jazizi, Fiqh Empat Mazhab, Terj, Muhammad Zuhri, dkk, Juz II, (Semarang: Asy-Sifa', 2001),  hal. 506

[19] Ibrahim Al-Bajury, Syarah Qasim AI-Ghazi, (Mesir:  Isa AI-Halaby, t.t.), hal. 284.

[20]Mahmud Syaltut, Tafsir A!-Qur'an Karim, Pendekatan Syaltut dalam menggali Esensi Al-Qur'an, Terj, Herry Noer Ali, Juz IV, (Bandung: Diponegoro, 2001), hal. 1137.

[21]Muhammad Asy-Syaukany, Nailu'i Authar, Juz IV, (Mesir: Musthafa AI-Baby Al-Halaby, t.t.), hal. 190.

[22]Yusuf Qardawi., Hukum Zakat, Study Komperatif mengenai status dan Filsafat Zakat berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits,…hal. 655.

[23]Budiono ,MA Kamu  Lengkap  Bahasa  Indonesia. (Surabaya:  Karya Agung,  2005), hal. 379

[24]Moh. Rafa'i, Ilmu Fikih Islam Lengkap, (Semarang:  Toha Putra, 2002), hal. 346.

[25]lbid, hal. 347.

[26]lbid, hal. 367.

[27] Imam Bukhari, shahih Bukhari, Juz I,…hal.156.

[28]Abdul Hasan Ali Abdul Hayyi Al-Hasani An-Nadwi, Empat Sendi Agama Islam, Terj, Zainuddin, dkk. ( Solo : Aneka Cipta, 2000), hal.152.

[29] Ibid, hal 102.

[30] Ibid, hal. 111.

[31]Ibid,  hal. 112.

[32] Ibid, hal. 113.

[33] Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhary, Shahih Bukhary, Juz I, ( Beirut: Darusy Sya’by, t.t), hal. 9.

[34]Ash-Syafi'i, Al-Umm, Juz II, (Mesir: Maktabah Al-Kulianty, t.t), hal. 86.

[35]Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jilid III , (Jakarta: Pustaka Amini, 2000), hal. 124
[36]Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz VII, ( Mesir: Maktabah Al-Masyahid, t.t.), hal 325.
[37]Didin Hafifuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hal. 9.
[38]M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), hal. 20.
[39]Imam Muslim, shahih Muslim, Juz IV, (Beirut: Al Fikr, t.t.), hal. 65.
[40]Soekidjo Natoatmodjo, Metodelogi Penelitian Kesehatan, (Jakarta: PT Reneka Cipta, 2005), hal. 72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar