Senin, 02 Mei 2011

PERSPEKTIF TEORITIS TENTANG LIFE LONG EDUCATION


 A. Hakikat Life Long Education 
 Life long education atau pendidikan seumur hidup yang secara operasional sering pula disebut pendidikan sepanjang raga bukanlah sesuatu yang baru. Pada abad 14 yang lampau, tepatnya pada zaman Nabi Muhammad SAW ide dan konsep itu telah disiarkannya dalam bentuk suatu imbauan, dalam haditsnya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه النبي صلى الله عليه وسلم قال:  اُطْلُبُوُا العِلْمَ مِنَ المَهْداِلىَ اللََّحْدِ ( رواة مسلم )

Artinya: Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw, beliau bersabda”Tuntutlah ilmu oleh kalian mulai sejak di buaian hingga liang lahat”. (H.R. Muslim)[1]

Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dari dahulu sudah dapat dilihat bahwa pada hakikatnya orang belajar sepanjang hidup, meskipun dengan cara yang berbeda dan melalui proses yang tidak sama. Jelasnya tidak ada batas usia yang menunjukan tidak mungkinnya dan tidak dapatnya orang belajar. Jika seorang petani yang sudah tua berusaha mencari tahu mengenai cara-cara baru dalam bercocok tanam, pemberantasan hama dan pemasaran hasil yang lebih menguntungkan, itu adalah pertanda bahwa belajar itu tidak dibatasi usia.
Dorongan belajar sepanjang hayat itu terjadi karena dirasakan sebagai kebutuhan. Setiap orang merasa butuh untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya dalam menghadapi dorongan-dorongan dari dalam dan tantangan alam sekitar, yang selalu berubah. Sepanjang hidup manusia memang tidak pernah berada di dalam suatu waktu yang vakum. Mereka dituntut untuk mampu menyesuaikan diri secara aktif, dinamis, kreatif dan inovatif terhadap diri dan kemajuan zaman.[2]
Dengan kata lain, pendidikan itu merupakan bagian integral dari hidup itu sendiri. Prinsip pendidikan seperti itu mengandung makna bahwa pendidikan itu lekat dengan diri manusia, karena dengan itu manusia dapat terus menerus meningkatkan kemandiriannya sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat, meningkatkan rasa pemenuh-maknaan (self fulfillment) dan terarah kepada aktualisasi diri.
Pendidikan seumur hidup yang dalam prakteknya telah lama berlangsung secara ilmiah dalam kehidupan manusia itu dalam perjalanannya menjadi pudar, disebabkan oleh semakin kukuhnya kedudukan sistem pendidikan persekolahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sistem persekolahan yang polanya membentuk masyarakat tersendiri dan memisahkan diri dari lingkungan masyarakat luas dengan benteng dan pagar pekarangan sekolah, membatasi waktu belajarnya sampai usia tertentu dan jangka waktu tertentu. Seolah-olah sekolah membentuk masyarakat khusus yang mempersiapkan diri, dengan membekali ilmu pengetahuan dan keterampilan menurut porsi yang telah ditetapkan dan cocok dengan tuntutan zaman. Kenyataannya menunjukan bahwa masyarakat selalu berubah dengan membawa tuntutan-tuntutan baru.
Pendidikan seumur hidup bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, pendidikan seumur hidup merupakan suatu proses berkesinambungan yang berlangsung sepanjang hidup. Ide tentang pendidikan seumur hidup yang hampir tenggelam, yang dicetuskan 14 abad yang lalu, kemudian dibangkitkan kembali oleh tokoh pendidikan Johan Amos Comenius 3 abad yang lalu (di abad 16/ 1592-1671) dan John Dewey 40 tahun yang lalu (tahun 50-an). Comenius mencetuskan konsep pendidikan bahwa pendidikan adalah untuk membuat persiapan yang lebih berguna di akhirat nanti.[3]
Pendidikan seumur hidup didefinisikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan peng-strukturan pengalaman pendidikan. pengorganisasiannya dan peng-strkturan ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua.[4]
Pendidikan seumur hidup bukan suatu sistem pendidikan yang berstruktur, melainkan suatu prinsip yang menjadi dasar yang menjiwai seluruh organisasi sistem pendidikan yang ada. Dengan kata lain pendidikan seumur hidup menembus batas-batas kelembagaan, pengelolaan, dan program sistem pendidikan. Kemudian 40 tahun yang lalu John Dewey, ahli filsafat dan pendidikan dari Amerika (1859-1952) menaruh keyakinan bahwa yang pokok dalam pendidikan adalah kegiatan anak itu sendiri. Kegiatan itu merupakan manifestasi dari kehidupan. Tidak ada kehidupan tanpa kegiatan. Sepanjang hidup harus ada keaktifan. Anak wajib memperoleh pengetahuan dari usahanya sendiri. [5]
Pada tahun 70-an, yaitu 20 tahun kemudian sesudah Dewey, Edgar Faure ketua Komisi Internasional tentang perkembangan pendidikan tentang laporannya yang berjudul”Learning To Be, The World of Education, Today and Tomorrow,” yang diterbitkan oleh UNESCO pada tahun 1972. Dalam laporan tersebut diajukan 6 buah rekomendasi untuk mengantisipasi dunia pendidikan di masa depan. Salah satu rekomendasinya ialah agar pendidikan seumur hidup (life long education).[6] Pada saat itu respon berbagai Negara tidak sama. Khususnya di Indonesia respon terhadap konsep pendidikan seumur hidup sangat positif dan dituangkan dalam kebijaksanaan Negara yaitu dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 jo. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN yang menetapkan prinsip pembangunan nasional antara lain: Dalam Bab IV bagian pendidikan, butir (d) berbunyi: Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga/keluarga dan masyarakat, karena itu pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Kebijaksaan pembangunan nasional di bidang pendidikan mengandung arti bahwa secara konstitusional GBHN tersebut wajib dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal, non-formal dan informal. Masing-masing lembaga tersebut bersifat komplementer (saling mengisi).




B. Life Long Education Dalam Analisis Perbandingan

Belajar erat kaitannya dengan psikologi. Dalam hal ini, Made Pidarta mengemukakan: Psikologi atau jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam mengendalikan jasmani. Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia yang berada dan melekat dalam diri manusia itu sendiri.[7] Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, sejak dari masa bayi, kanak-kanak dan seterusnya sampai dewasa dan masa tua. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya. Dengan melalui tahap-tahap tertentu dan akhimya anak itu mencapai kedewasaan baik dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.
Dalam perkembangan jiwa dan jasmani tersebut, manusia perlu belajar. Masa belajar manusia itu bertingkat-tingkat, sejalan dengan fase-fase perkembangannya, sejak masa kanak-kanak sampai masa tua. Dan sini dapat dipahami bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai bekal untuk menempuh kehidupan disepanjang hayatnya. Melalui pembahasan ini dimaksudkan untuk lebih memahami hakekat belajar dan bagaimana memberikan motivasi bahwa belajar itu sebenarnya berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sejak dari buaian sampai liang lahat.[8]
Bahwa manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Ia ingin mencapai suatu kehidupan yang optimal. Selama manusia barusaha untuk meningkatkan kehidupannya, baik dalam meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, kepribadian, maupun keterampilannya, secara sadar atau tidak sadar, maka selama itulah pendidikan masih berjalan terus.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan asas pendidikan yang cocok bagi orang-orang yang hidup dalam dunia transformasi, dan di dalam masyarakat yang saling mempengaruhi seperti saat zaman globalisasi sekarang ini. Setiap manusia dituntut untuk menyesuaikan dirinya secara terus menerus dengan situasi baru.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan jawaban terhadap kritik-kritik yang dilontarkan pada sekolah. Sistem sekolah secara tradisional mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan kehidupan yang sangat cepat dalam abad terakhir ini, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau tutuntutan manusia yang makin meningkat. Pendidikan di sekolah hanya terbatas pada tingkat pendidikan dari sejak kanak-kanak sampai dewasa, tidak akan memenuhi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan dunia yang berkembang sangat pesat. Dunia yang selalu berubah ini membutuhkan suatu sistem yang fleksibel. Pendidikan harus tetap bergerak dan mengenal inovasi secara terus menerus.
Menurut konsep pendidikan sepanjang hayat, kegiatan-kegiatan pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Seluruh sektor pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Konsep ini harus disesuaikan dengan kenyataan serta kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang telah maju akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat yang belum maju. Apabila sebahagian besar masyarakat suatu bangsa masih yang banyak buta huruf, maka upaya pemeberantasan buta huruf di kalangan orang dewasa mendapat prioritas dalam sistem pendidikan sepanjang hayat. Tetapi, di negara industri yang telah maju pesat, masalah bagaimana mengisi waktu senggang akan memperoleh perhatian dalam sistem ini.[9]
Pendidikan bukan hanya berlangsung di sekolah. Pendidikan akan mulai segera setelah anak lahir dan akan berlangsung sampai manusia meninggal dunia, sepanjang ia mampu menerima pengaruh-pengaruh. Oleh karena itu, proses pendidikan akan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi proses perkembangan seorang individu sekaligus merupakan peletak dasar kepribadian anak. Pendidikan anak diperoleh terutama melalui interaksi antara orang tua–anak. Dalam berinteraksi dengan anaknya, orang tua akan menunjukkan sikap dan perlakuan tertentu sebagai perwujudan pendidikan terhadap anaknya.
Pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dalam keluarga. Sekolah merupakan lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua setelah keluarga, sehingga mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya. Sekolah diselenggarakan secara formal. Di sekolah anak akan belajar apa yang ada di dalam kehidupan, dengan kata lain sekolah harus mencerminkan kehidupan sekelilingnya. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan budayanya. Dalam kehidupan modern seperti saat ini, sekolah merupakan suatu keharusan, karena tuntutan-tuntutan yang diperlukan bagi perkembangan anak sudah tidak memungkinkan akan dapat dilayani oleh keluarga. Materi yang diberikan di sekolah berhubungan langsung dengan pengembangan pribadi anak, berisikan nilai moral dan agama, berhubungan langsung dengan pengembangan sains dan teknologi, serta pengembangan kecakapan-kecakapan tertentuyang langsung dapat dirasakan dalam pengisian tenaga kerja.
Pendidikan di masyarakat merupakan bentuk pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga dan sekolah. Bentuk pendidikan ini menekankan pada pemerolehan pengetahuan dan keterampilan khusus serta praktis yang secara langsung bermanfaat dalam kehidupan di masyarakat. Phillip H.Coombs mengemukakan beberapa bentuk pendidikan di masyarakat, antara lain : (1) program persamaan bagi mereka yang tidak pernah bersekolah atau putus sekolah; (2) program pemberantasan buta huruf; (3) penitipan bayi dan penitipan anak pra sekolah; (4) kelompok pemuda tani; (5) perkumpulan olah raga dan rekreasi; dan (6) kursus-kursus keterampilan.[10]
Dasar pemikiran yang menyatakan bahwa life long education adalah sangat penting. Dasar pemikiran tersebut ditinjau dari berbagai aspek, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Tinjauan Ideologis
Pendidikan seumur hidup akan memungkingkan seseorang mengembangkan potensi-potensinya sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sebab pada dasarnya semua manusia dilahirkan ke dunia mempunyai hak sama, khususnya untuk mendapatkan pendidikan dan peningkatan pengetahuan dan keterampilannya (skill).
1.      Tinjauan Ekonomis
Melalui pendidikan, merupakan cara paling efektif untuk keluar dari suatu lingkaran yang menyeret kepada kebodohan dan kemelaratan. Pendidikan seumur hidup dalam konteks ini memungkingkan seseorang untuk:
1.      Meningkatkan produktifitasnya
2.      Memelihara dan mengembangkan sumber-sumber daya dimilikinya
3.      Memungkinkan hidup dalam lingkungan yang lebih sehat dan menyenangkan
4.      Memiliki motivasi dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya secara tepat, sehingga pendidikan keluarga menjadi sangat penting dan besar artinya.[11]

2. Tinjauan Sosiologis
Pada umumnya di negara-negara sedang berkembang ditemukan masih banyaknya para orang tua yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan formal bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, banyak anak-anak mereka yang kurang mendapatkan pendidikan formal, putus sekolah atau tidak bersekolah sama sekali. Dengan demikian pendidikan seumur hidup kepada orang akan merupakan solusi dari masalah tersebut.

3. Tujuan Filosofis
Di negara demokrasi, menginginkan seluruh rakyat menyadari pentingnya hak memilih dan memahami fungsi pemerintah, DPR, MPR dan sebagainya.
4. Tinjauan Teknologis
Di era globalisasi seperti sekarang ini, tampaknya dunia dilanda oleh eksplosi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan berbagai produk yang dihasilkannya. Semua orang, tak terkecuali para pendidik, sarjana, pemimpin dan sebagainya dituntut selalu memperbaharui pengetahuan dan keterampilannya seperti apa yang terjadi di negara maju.
5.      Tinjauan Psikologis dan Paedagogis

Perkembangan IPTEK sangat pesat mempunyai dampak dan pengaruh besar terhadap berbagai konsep, teknik dan metode pendidikan. Disamping itu, perkembangan tersebut juga makin luas, dalam dan kompleks, yang menyebabkan ilmu pengetahuan tidak mungkin lagi diajarkan seluruhnya kepada anak didik di sekolah. Oleh karena itu, tugas pendidikan jalur sekolah yang utama sekarang ialah mengajarkan bagaimana cara belajar, menanamkan motivasi yang kuat dalam diri anak untuk belajar terus sepanjang hidupnya, memberikan skill kepada anak didik secara efektif agar dia mampu beradaptasi dalam masyarakat yang cenderung berubah secara cepat. Berkenaan dengan itulah, perlu diciptakan suatu kondisi yang merupakan aplikasi asas pendidikan seumur hidup atau life long education.[12]
Demikian keadaan pendidikan seumur hidup yang dilihat dari berbagai aspek dan pandangan. Sebagai pokok dalam pendidikan seumur hidup adalah seluruh individu harus memiliki kesempatan yang sistematik, terorganisisr untuk belajar disetiap kesempatan sepanjang hidup mereka. Semua itu adalah tujuan untuk menyembuhkan kemunduran pendidikan sebelumnya, untuk memperoleh skill yang baru, untuk meningkatkan keahlian mereka dalam upaya pengertian tentang dunia yang mereka tempati, untuk mengembangkan kepribadian dan tujuan-tujuan lainnya. Konseptualisasi pendidikan seumur hidup yang merupakan alat untuk mengembangkan individu-individu akan belajar seumur hidup agar lebih bernilai bagi masyarakat.[13]

C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu, yaitu merekonstruksi apa saja yang sudah dipikirkan, dikerjakan, dikatakan, dirasakan, dan dialami manusia. Namun, perlu ditegaskan bahwa membangun kembali masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri.[14] Sejarah mempunyai kepentingan masa kini, bahkan untuk masa yang akan datang. Oleh karenanya, orang tidak akan belajar sejarah karena tidak akan ada gunanya. Kenyataannya, sejarah terus di tulis, di semua peradaban dan di sepanjang waktu. Hal ini, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu sangat urgen.[15]
Namun kebanyakan sejarah sosial khususnya tentang pendidikan masih berkutat pada pembahasan tentang sejarah ekonomi yang menyangkut tentang aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini, Kuntowijoyo berpendapat bahwa sejarah sosial mempunyai hubungan erat dengan sejarah ekonomi, sehingga menjadi semacam sejarah sosial ekonomi.[16] Walaupun demikian, ada beberapa tema yang berkaitan dengan sejarah sosial. Ada pengertian bahwa sejarah sosial yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia kecuali masalah-masalah berkaitan masalah politik.[17]
Dari deskripsi diatas, kita bisa memetakan definisi dari sejarah pendidikan atau terspesifikasi pada pendidikan Islam. Substansi dan tekanan dalam sejarah pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistem pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai pada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan itu semua sejarah pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial.[18]

D. Kerangka Berfikir

Pendidikan tertuang dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dikemukakan bahwa hakikatnya bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pengembangan pendidikan adalah proses sepanjang hayat yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan oleh dunia kerja dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas proses produksi dan mempertahankan keseimbangan ekonomi. Sehubungan dengan pengembangan pendidikan untuk peningkatan kualitas, adalah proses kontekstual, sehingga kesetaraan pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan manusia yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang cocok dengan dunia kerja pada saat ini, melainkan juga manusia yang mampu, mau, dan siap belajar sepanjang hayat.[19]
 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 3 menyebutkan dengan tegas bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah sebagai berikut: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Menurut Mohamad Surya, saat ini pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi kritis. Ada beberapa pihak yang menuding bahwa krisis nasional sekarang ini bersumber dari bidang pendidikan, dan lebih jauh ditudingkan sebagai kesalahan guru.[20] Guru merupakan subjek utama dan pertama dalam proses pendidikan di lapis terdepan. Membenahi pendidikan nasional harus dimulai dari unsur guru.[21] Guru merupakan komponen pendidikan terpenting, terutama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan. Dalam kaitan ini, yang dapat memperbaiki situasi pendidikan pada akhirnya berpulang kepada guru yang sehari-hari bekerja di lapangan.[22]
Guru merupakan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[23] Menurut Balitbang Depdiknas lebih dari 30 persen guru yang ada sekarang ini sebenarnya tidak layak untuk mengajar. Mungkin menjadi pendidik karena sulit mencari pekerjaan yang lain, atau karena koneksi. Mereka sebenarnya tidak terpanggil untuk menjadi pendidik, namun hanya karena keterpaksaan.[24] Dengan keadaan demikian, akan melahirkan komitmen yang rendah dari guru terhadap sekolahnya. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut.[25] Rata-rata pendidikan mereka berada di bawah standar (under-qualified) dan guru “salah kamar” (mismatch), yaitu bidang studi yang diajarkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. (Qodri, 2003:60).
Sebagian besar guru belum menguasai mata pelajaran yang mestinya menjadi bidang keahliannya, termasuk Pendidikan Agama Islam yang para gurunya masih belum seluruhnya bisa menulis dan membaca al-Quran dengan benar dan baik.[26] Sistem pendidikan guru, masih belum memberikan jaminan untuk menghasilkan guru yang bermutu dan berkewenangan, di samping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik, dan kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan.[27]
 Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan tersebut, seyogianya sedini mungkin semua potensi yang ada dikembangkan dan difungsikan secara maksimal, diintegrasikan melalui peran guru di sekolah. Salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan tersebut.



[1]Imam Muslim,  Shahih Muslim, Juz V, ( Beirut: Al Fikr, t.t), hal. 337.

[2]Prasetya, Filsafat Pendidikan, Cet. II, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 97.

[3]Cropley, Pendidikan seumur Hidup, Penyunting M. Sarjan Kadir, (Surabaya: usaha Nasional, 2001), hal. 67.

[4]Umar Tirtarahardja, S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 37.
[5]Muhammad Tolchah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya, (Jakarta: Galasa Nusantara, 2007), hal. 2.

[6]UNESCO, Dalam Jawed, Muhammad, (Ed.) Year Book of the Muslim World: A Handy Encyclopaedia, (New Delhi: Medialine, 1996),  hal. 53-54.

[7]Made Pidarta, Landasan Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 190.

[8] Bigot, Psychology, (Yogyakarta:  Simponei, 1957), hal. 18.

[9]Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grapindo Persada,2005), hal. 249.

[10]Soelamin Joesoef dan Slamet Santoso, Pendidikan Luar Sekolah, (Surabaya: Usaha Nasional, 2001), 65.

[11]Abraham H Maslow, Motivation and Personality, (New York: Harper and Row, 1954), hal. 74.

[12]Safwan, konsep-belajar-sepanjang-hayat, http://irfan-na.blogspot.com, Diakses pada tanggal, 10 september 2010.

[13]Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 29.

[14]Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2005), hal. 17.
[15]Ibid, hal. 19.

[16]­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­                      , ­ Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal, 39.

[17]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2002), Hal. 6.

[18]Djoko Soerjo, Sejarah Sosial Intelektual Islam: Sebuah Pengantar, dalam Nor Huda. Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007), Hal. 26.

[19]Muchtar Heri Jauhari, Fiqih Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal.  63.

[20]Muchtar Buchori, Spectrum Problematika Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hal. 67.

[21]Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta. 2005), hal. 4.

[22]Heru, Pentingnya pendidikan bagi manusia modern, http://warnadunia.com/long-life-education-pendidikan-seumur-hidup, diakses pada tanggal 19 September 2010.

[23]Amrullah Achmad, Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, dalam Pendidikan Islam ,(Jakarta: Pustaka Firdaus), hal.  86.  

[24]Muchtar Heri Jauhari, Fiqih Pendidikan,…hal. 86.

[25]Sanapiah Faisal, Pendidikan Luar Sekolah, ( Surabaya: Usaha Nasional, 2001), hal. 4.

[26]M. Arifin, Hubungan Timbal balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga (Jakarta: Bulan Bintang, 2004), hal. 26.

[27]Sudjana, Pendidikan Nonformal: Wawasan, Sejarah Perkembangan,Falsafah,Teori Pendukung, Asas, (Bandung: Falah Production, 2004), hal.17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar