Senin, 02 Mei 2011

MASA NABI MUHAMMAD SAW DI MEKKAH


A.     Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad Saw

Sayyidul Mursalin Muhammad Saw dilahirkan ditengah kabilah besar yaitu bani hasyim dikota Mekkah pada pagi hari senin bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal pada tahun taragedi pasukan gajah atau 40 tahun dari berlalunya kekuasaan kisra anusyirwan, juga bertepatan dengan tanggal 24 april tahun 571 Masehi.
Muhammad adalah keturunan Nabi Ismail, nabi dengan 12 putra yang menjadi cikal bakal bangsa Arab. “Para nenek moyang Muhammad adalah penjaga Baitullah sekaligus pemimpin masyarakat di Mekkah, tempat yang menjadi tujuan bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk berziarah setahun sekali.”[10] Tradisi ziarah yang sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji. Salah seorang yang menonjol adalah Qusay yang hidup sekitar abad kelima Masehi. Tugas Qusay sebagai penjaga ka'bah adalah memegang kunci ('hijabah'), mengangkat panglima perang dengan memberikan bendera simbol yang dipegangnya ('liwa'), menerima tamu ('wifadah') serta menyediakan minum bagi para peziarah ('siqayah').  Ketika lanjut usia, Qusay menyerahkan mandat terhormat itu pada pada anak tertuanya, Abdud-Dar.
Namun anak keduanya, Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah Muthalib, serta si kembar siam Hasyim dan Abdul Syam yang harus dipisah dengan pisau. Darah tumpah saat pemisahan mereka, diyakini orang Arab sebagai pertanda keturunan mereka bakal berseteru. Anak-anak Abdul Manaf mencoba merebut hak menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang kurang berwibawa di masyarakat. Pertikaian senjata nyaris terjadi. Kompromi disepakati.
Separuh hak, yakni menerima tamu dan menyediakan minum, diberikan pada anak-anak Abdul Manaf. Hasyim yang dipercaya memegang amanat tersebut. Anak Abdu Syam, Umayah, mencoba merebut mandat itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap pada Hasyim. Umayah, sesuai perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Keturunan Umayah seperti Abu Sofyan maupun Muawiyah- kelak memang bermusuhan dengan
keturunan Hasyim. 
Hasyim lalu menikahi Salma binti Amr dari Bani Khazraj perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau Madinah. Mereka berputra Syaibah (yang berarti uban) yang di masa tuanya dikenal sebagai Abdul Muthalib kakek Muhammad. Inilah ikatan kuat Muhammad dengan Madinah, kota yang dipilihnya sebagai tempat hijrah saat dimusuhi warga Mekah. Syaibah tinggal di Madinah sampai Muthalib yang menggantikan Hasyim karena wafat menjemputnya untuk dibawa ke Mekah. Warga Mekkah sempat menyangka Syaibah sebagai budak Muthalib, maka ia dipanggil dengan sebutan Abdul Muthalib. Abdul Muthalib mewarisi kehormatan menjaga Baitullah dan memimpin masyarakatnya. Namanya semakin menjulang setelah ia dan anaknya, Harits, berhasil menggali dan menemukan kembali sumur Zamzam yang telah lama hilang. Namun ia juga sempat berbuat fatal, berjanji akan mengorbankan (menyembelih) seorang anaknya bila ia dikaruniai 10 anak. Begitu mempunyai 10 anak, maka ia hendak melaksanakan janjinya. Nama sepuluh anaknya dia undi ('kidah') di depan arca Hubal. Abdullah ayah Muhammad yang terpilih. 
Masyarakat menentang rencana Abdul Muthalib. Mereka menyarankannya agar menghubungi perempuan ahli nujum. Ahli nujum tersebut mengatakan bahwa pengorbanan itu boleh diganti dengan unta asalkan nama unta dan Abdullah diundi. Mula-mula sepuluh unta yang dipertaruhkan. Namun tetap Abdullah yang terpilih oleh undian. Jumlah unta terus ditambah sepuluh demi sepuluh. Baru setelah seratus unta, untalah yang keluar dalam undian, meskipun itu diulang tiga kali. Abdullah selamat.  Peristiwa besar yang terjadi di masa Abdul Muthalib adalah rencana penghancuran Ka'bah.[11]
Seorang panglima perang Kerajaan Habsyi (kini Ethiopia) yang beragama Nasrani, Abrahah, mengangkat diri sebagai Gubernur Yaman setelah ia menghancurkan Kerajaan Yahudi di wilayah itu. Ia terganggu dengan reputasi Mekah yang menjadi tempat ziarah orang-orang Arab. Ia membangun Ka'bah baru dan megah di Yaman, serta akan menghancurkan Ka'bah di MeKkah. Abrahah mengerahkan pasukan gajahnya untuk menyerbu Mekkah. Mendekati Mekkah, Abrahah menugasi pembantunya Hunata untuk menemui Abdul Muthalib.
Hunata dan Abdul Muthalib menemui Abrahah yang berjanji tak akan mengganggu warga bila  mereka dibiarkan menghancurkan Baitullah. Abdul Muthalib pasrah. Menjelang penghancuran Ka'bah terjadilah petaka tersebut. Qur'an menyebut peristiwa yang menewaskan Abrahah dan pasukannya dalam Surat Al-Fiil. "Dan Dia mengirimkan kepada mereka "Tairon Ababil", yang melempari mereka dengan batu-batu cadas yang terbakar, maka Dia jadikan mereka bagai daun dimakan ulat". Pendapat umum menyebut "Toiron Ababil" sebagai "Burung Ababil" atau "Burung yang berbondong-bondong". Buku "Sejarah Hidup Muhammad" yang ditulis Muhammad Husain Haekal mengemukakannya sebagai wabah kuman cacar (mungkin maksudnya wabah Sampar atau Anthrax, penyakit serupa yang menewaskan sepertiga warga Eropa dan Timur Tengah di abad 14). Namun ada pula analisa yang menyebut pada tahun-tahun itu memang terjadi hujan meteor hujan batu panas yang berjatuhan atau 'terbang' dari langit.
Yang pasti masa tersebut dikenal sebagai Tahun Gajah yang juga merupakan tahun kelahiran Muhammad. Pada masa itu, Abdullah putra Abdul Muthalib telah menikahi Aminah. Ia kemudian pergi berbisnis ke Syria. Dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di Madinah. Muhammad lahir setelah ayahnya meninggal. Hari kelahirannya dipertentangkan orang. Namun, pendapat Ibn Ishaq dan kawan-kawan yang paling banyak diyakini masyarakat: yakni bahwa Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal. Orientalis Caussin de Perceval dalam ‘Essai sur L'Histoire des Arabes' yang dikutip Haekal menyebut masa kelahiran Muhammad adalah Agustus 570 Masehi. Ia dilahirkan di rumah kakeknya -tempat yang kini tak jauh dari Masjidil Haram. 
Bayi itu dibawa Abdul Muthalib ke depan Ka'bah dan diberi nama Muhammad yang berarti "terpuji". Suatu nama yang tak lazim pada masa itu. Konon, Abdul Muthalib sempat hendak memberi nama bayi itu Qustam serupa nama anaknya yang telah meninggal. Namun Aminah berdasarkan ilham-mengusulkan nama Muhammad itu.

B.     Pernikahan Muhammad Dengan Khadijah

 Beliau adalah seorang sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Dia adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Dijuluki ath-Thahirah yakni yang bersih dan suci. Sayyidah Quraisy ini dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat kira-kira 15 tahun sebelum tahun fill (tahun gajah). Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik serta memiliki perangai yang luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.
Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun.Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin 'A'id bin Abdullah al-Makhzumi hingga beberapa waktu lamanya namun akhirnya mereka cerai. Setelah itu banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau tetapi beliau memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, juga sibuk mengurusi perniagaan yang mana beliau menjadi seorang yang kaya raya. Suatu ketika, beliau mencari orang yang dapat menjual dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi'tsah (diangkat menjadi Nabi), yang memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, maka beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisarah.[12]
Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad al-Amin pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisarah dan Allah menjadikan perdagangannya tersebut menghasilkan laba yang banyak. Khadijah merasa gembira dengan hasil yang banyak tersebut karena usaha dari Muhammad, akan tetapi ketakjubannya terhadap kepribadian Muhammad lebih besar dan lebih mendalam dari semua itu. Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagaimana kebanyakan laki-laki lain dan perasaan-perasaan yang lain.
Akan tetapi dia merasa pesimis, mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun. Apa nanti kata orang karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya? Maka disaat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog hingga kecerdikan Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembuyikan oleh Khadijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya. Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat, memiliki harta dan berparas cantik.
Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.
Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad al-Amin hingga terjadilah dialog yang menunjukan kelihaian dan kecerdikannya: Nafisah  Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?  Muhammad: Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah. Nafisah dengan tersenyum berkata, jika aku pilihkan untuk-mu seorang wanita yang kaya raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya?  Muhammad: Siapa dia ? Nafisah: Dia adalah Khadijah binti Khuwailid, Muhammad: Jika dia setuju maka akupun setuju.[13] Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau tentang keinginannya untuk menikahi sayyidah Khadijah. Kemudian berangkatlah Abu Thalib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar.
Setelah usai akad nikah, disembelihlah beberapa ekor hewan kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan dan diantara mereka terdapat Halimah as-Sa'diyah yang datang untuk menyaksikan pernikahan anak susuannya. Setelah itu dia kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing
sebagai hadiah yang mulia dari Khadijah, karena dahulu dia telah menyusui
Muhammad yang sekarang menjadi suami tercinta.  Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad al-Amin dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami dari pada kepentingan sendiri. Manakala Muhammadmengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad.
Demikian juga tatkala Muhammad ingin mengembil salah seorang dari putra pamannya, Abu Tholib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Tholib radhiallâhu 'anhu agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya, Muhammad Saw. Allah memberikan karunia pada rumah tangga tersebut berupa kebehagaian dan nikmat yang berlimpah, dan mengkaruniakan pada keduanya putra-putri yang bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummi Kalsum dan Fatimah.


C.     Pengangkatan Muhammad Sebagai Rasul

Tatkala usia Muhammad sudah mendekati 40 tahun dan perenungan­nya terdahulu telah memperluas jurang pemikiran antara diri beliau dan kaumnya, beliau mulai suka mengasingkan diri. Karenanya beliau biasa membawa roti yang terbuat dari gandum dan bekal air menuju gua Hira' yang terletak di Jabal Nur, yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang sejuk, panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira' al-Hadid (hasta ukuran besi). Beliau tinggal di dalam gua tersebut bulan Ramadhan, memberi makan orang-orang miskin yang mengunjunginya, menghabiskan ­waktunya dalam beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di sekitarnya dan kekuasaan yang menciptakan sedemikian sempurna di balik itu. Beliau tidak dapat tenang melihat kondisi kaumnya yang masih terbelenggu oleh keyakinan syirik yang usang dan gambaran tentangnya yang demikian rapuh, akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang terang, manhaj yang jelas ataupun jalan yang harus dituju, yang berkenan di hatinya dan disetujuinya.
Pilihan mengasingkan diri ('uzlah) yang diambil oleh beliau ini merupakan bagian dari tadbir (skenario) Allah terhadapnya. Juga agar terputusnya kontak dengan kesibukan-kesibukan duniawi, gon­cangan kehidupan dan ambisi-ambisi kecil manusia yang mengusik kehidupan menjadi sebagai suatu perubahan, untuk kemudian me­persiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga siap mengemban amanah yang agung, merubah wajah  bumi dan meluruskan garis sejarah. 'Uzlah yang sudah diatur oleh Allah ini terjadi tiga tahun menjelang beliau diangkat sebagai Rasul. Beliau menjalani 'uzlah ini selama sebulan dengan semangat hidup yang penuh kebebasan dan merenungi keghaiban yang tersembunyi di balik kehidupan tersebut hingga tiba waktunya untuk berinteraksi dengannya saat Allah memperkenankannya.[14]
Tatkala usia beliau genap empat puluh tahun yang merupakan puncak kematangan, dan ada pula yang menyatakan bahwa di usia inilah para rasul diutus, tanda-tanda nubuwwah (kenabian) nampak dan bersinar, di antaranya, adanya sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau, juga beliau tidak bermimpi kecuali sangat jelas, sejelas fajar subuh yang menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan sementara masa kenabian berlang­ung selama dua puluh tiga tahun sehingga ru'ya shadiqah (mimpi yang benar) ini merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika pengasingan dirinya ('uzlah) di gua Hira' memasuki tahun ketiga, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmat-Nya terlimpahkan kepada segenap penduduk bumi, lalu dimuliakanlah beliau dengan mengangkatnya sebagai nabi, lalu Jibril turun kepadanya dengan membawa beberapa ayat al-Qur'an.[15]
Setelah memperhatikan dan mengamati beberapa bukti penguat dan dalil-dalil, kita dapat menentukan terjadinya peristiwa tersebut secara tepat, yaitu pada hari Senin, tangga1 21 Ramadhan, di malam hari, bertepatan dengan tangga1 10 Agustus tahun 610 M. Tepatnya, atau saat itu sudah berusia 40 tahun, 6 bulan, 12 hari menurut  kalender Hijriah dan sekitar usia 39 tahun, 3 bulan, 20 hari berdasarkan, kalender Masehi.[16]
Wahyu yang pertama dialami oleh Rasulullah adalah berupa ar-ru'ya ash-shalihah (mimpi yang benar) dalam tidur. Beliau tidak bermimpi melainkan sangat jelas, sejelas fajar shubuh yang menyingsing, kemudian beliau mulai suka menyendiri dan beliau melakukannya di gua Hira', di mana beliau beribadah di dalamnya selama beberapa malam. Selanjutnya kembali ke keluarganya dan mengambil perbekalan untuk itu, kemudian kembali lagi kepada istrinya, Khadijah, dan mengambil perbekalan yang sama. Hingga akhirnya, pada suatu hari, datanglah kebenaran kepadanya saat beliau berada di gua Hira' tersebut.[17] Seorang malaikat datang menghampiri sembari berkata, "Bacalah!", (beliau berkata) lalu aku menjawab, "Aku tidak bisa membaca!." Beliau  bertutur lagi, "Kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan tenaga, lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata, "Bacalah!" Aku tetap menjawab, "Aku tidak bisa membaca!" Lalu untuk kedua kalinya, dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan tenaga kemudian melepaskanku seraya berkata lagi, "Baca­lah!" Aku tetap menjawab, "Aku tidak bisa membaca!" Kemudian dia melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya, sembari berkata,
اقرأ باسم ربك الذى خلق (P) خلق الإنسن من علق (Q) إقرأوربك الأكرم (R) الذى علم بالقلم (S) علم الإنسن ما لم يعلم (T) ( العلق : ١-٥)

Artinya: Bacalah  dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu lah Yang Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qolam. Dia mengajarkan .kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (al-'Alaq: 1-5).

Setelah itu Rasulullah pulang dengan merekam bacaan tersebut kondisi gemetar, lantas menemui istrinya, Khadijah binti Khuwailid, sembari berucap, "Selimuti aku! Selimuti aku!" Beliau pun diselimuti hingga rasa takutnya hilang. Beliau bertanya kepada Kha­dijah, Ada apa denganku ini?" Lantas beliau menuturkan kisahnya dan berkata, "Aku amat khawatir terhadap diriku!"  Khadijah berkata, "sekali-kali tidak akan demikian! Demi Allah! Dia tidak akan menghinakanmu selamanya! Sungguh engkau adalah penyambung tali kerabat, pemikul beban orang lain yang mendapatkan kesusahan, pemberi orang yang papa, penjamu tamu serta pendukung setiap upaya penegakan kebenaran." Kemudian Khadijah berangkat bersama beliau menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin `Abdul `Uzza, sepupu Khadijah. Dia adalah seorang penganut agama Nashrani pada masa Jahiliyyah dan mampu menukil beberapa tulisan dari injil dengan tulisan 'Ibrani sebanyak yang mampu ditulisnya atas kehendak Allah. Dia juga, seorang yang sudah tua renta dan buta. Maka berkatalah Khadijah kepadanya, "Wahai sepupuku! Dengar-kanlah­ (cerita) dari keponakanmu ini."[18]
Waraqh berkata, "Wahai keponakanku! Apa yang engkau lihat?
Lalu Rasulullah membeberkan pengalaman yang sudah dilihatnya. Waraqah berkata kepadanya, "Itu adalah makhluk kepercayaan Allah (Jibril) yang telah Allah utus kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan muda ketika itu! Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu!"[19]
Rasulullah, bertanya, Apakah mereka akan mengusirku ?
Dia menjawab, Ya! Tidak seorang pun yang membawa seperti yang engkau bawa ini melainkan akan dimusuhi, dan jika aku masih hidup  pada saat itu niscaya aku akan membelamu dengan segenap jiwa ragaku.
Kemudian tak berapa lama dari itu Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus (mengalami masa vakum).
macam-macam cara turunnya wahyu
Ibnu al-Qayyim berkata - ketika menyinggung macam-macam cara turunnya wahyu tersebut- sebagai berikut:   
1.      Berupa ar-ru'ya ash-shaadiqah (mimpi yang benar) dan ini merupakan permulaan turunnya wahyu kepada beliau.
2.      Berupa sesuatu yang dibisikkan oleh malaikat terhadap jiwa dan hati beliau tanpa dapat beliau lihat.
3.      Berupa malaikat yang berwujud seorang laki-laki, lantas mengajak beliau berbicara hingga beliau memahaminya dengan baik apa yang dikatakan kepadanya. Dalam hal ini, terkadang para sahabat dapat melihat malaikat tersebut.
4.      Berupa bunyi gemerincing lonceng yang datang kepada beliau, diikuti dengan malaikat (yang menyampaikan wahyu) secara samar. Cara ini merupakan cara yang paling berat, sampai-sampai membuat kening beliau berkerut dan bersimbah peluh, padahal terjadi dalam kondisi hari yang amat dingin. Demikian pula, mengakibatkan onta beliau duduk bersimpuh ke bumi bila beliau sedang menungganginya. Dan pernah juga suatu kali, wahyu datang dengan cara tersebut, saat itu paha beliau berada di atas paha Zaid bin Tsabit, sehingga Zaid merasakan beban demikian berat yang hampir saja membuatnya remuk.
5.      Berupa malaikat dalam bentuk aslinya yang dilihat langsung oleh beliau, lalu diwahyukan kepada beliau beberapa wahyu yang dikehendaki oleh Allah. Peristiwa seperti ini dialami oleh beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat an-Najm.
6.      Berupa wahyu yang diwahyukan oleh Allah kepada beliau. Yaitu saat beliau berada di atas lelangit pada malam mi'raj ­ketika diwajibkannya shalat dan lainnya.
7.      Berupa Kalamullah (ucapan Allah) kepada beliau tanpa perantaraan malaikat, sebagaimana Allah berbicara kepada Musa bin Imran. Peristiwa seperti ini juga dialami oleh Nabi Musa dan diabadikan secara qath'iy berdasarkan nash al-Qur'an. Sedangkan terhadap Nabi terjadi dalam hadits tentang peristiwa Isra'.[20]


D.     Awal mula Penyebaran Islam Di Mekkah

Kota mekkah merupakan pusat agama bagi bangsa Arab. Di sana terdapat para pengabdi Ka'bah dan pengurus berhala serta patung-patung yang dianggap suci oleh seluruh bangsa Arab. Sehingga untuk mencapai tujuan, yaitu melakukan perubahan di kota Mekkah, akan lebih sulit dan sukar jika dibandingkan apabila hal tersebut jauh darinya. Karenanya, dakwah membutuhkan tekad baja yang tak mudah tergoyahkan oleh beruntunnya musibah dan bencana yang menimpa. Maka sangat bijaksana dalam menghadapi hal itu, memulai dakwah secara sirri (sembunyi-sembunyi) agar penduduk Mekkah tidak dikagetkan dengan hal yang bisa saja memancing emosi mereka.
Merupakan hal yang wajar bila yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah adalah menawarkan Islam kepada orang-orang yang dekat hubungannya dengan beliau, keluarga serta sahabat­-sahabat karib beliau. Mereka semua didakwahi oleh beliau untuk memeluk Islam. Beliau juga, mendakwahi setiap orang yang memiliki sifat baik dari mereka yang beliau kenal dan mereka yang sudah mengenal beliau. Beliau mengenal mereka sebagai orang-orang yang mencintai Allah dan kebaikan, sedang mereka yang mengenal beliau sebagai sosok yang selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keshalihan. Hasilnya, banyak di antara mereka yang tidak sedikit pun digerayangi oleh keraguan terhadap keagungan, kebesaran jiwa Rasulullah serta kebenaran berita yang dibawanya merespons dengan baik dakwah beliau.
Mereka semua masuk Islam secara sembunyi-sembunyi. Dan cara yang sama pun dilakukan oleh Rasulullah dalam pertemuan dan pengarahan agama yang beliau berikan, karena dakwah ketika itu masih bersifat individu dan sembunyi-sembunyi. Sementara wah­yu sudah turun secara berkesinambungan dan memuncak setelah turunnya permulaan surat al-Muddatstsir. Ayat-ayat dan penggalan­-penggalan surat yang turun pada fase ini merupakan ayat-ayat pendek; yang berakhiran indah dan kokoh, berintonasi menyejukkan dan memikat, tertata bersama suasana yang begitu lembut dan halus. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang memperbaiki penyucian diri (tazkiyatun nufus), mencela pengotorannya dengan gemerlap duniawi serta melukiskan surga dan neraka dengan begitu jelas, seakan-akan terlihat di depan mata. Di samping, menggiring kaum Mukminin ke dalam suasana yang lain dari kondisi komunitas sosial kala itu.
Meskipun dakwah pada tahapan ini dilakukan secara sembunyi­sembunyi dan bersifat individu, namun akhirnya, perihal beritanya sampai juga ke telinga para pemuka kaum Quraisy. Hanya saja, mereka belum mempermasalahkan-nya karena Rasulullah, tidak pernah menying­gung agama mereka ataupun tuhan-tuhan mereka. Tiga tahun pun berlalu sementara dakwah masih berjalan secara sembunyi-sembunyi dan individu. Dalam tempo waktu ini, terben­tuklah suatu kelompok kaum Mukminin yang dibangun atas pondasi ukhuwwah (persaudaraan) dan ta'awun (solidaritas) serta penyampaian risalah dan pemantapan posisinya. Kemudian turunlah wahyu yang menugaskan Rasulullaht agar menyampaikan dakwah kepada ka­umnya secara terang-terangan (Jahriyyah) dan menentang kebatilan mereka serta menyerang berhala-berhala mereka.

E. Penaklukan Kota Makkah

Pada tahun 627 masehi, rasulullah bermimpi atau mendapat visi bahwa bahwa ia dan para sahabatnya akan masuk kemasjid suci dimekkah dengan aman, dengan rambut dicukur atau dipangkas dan tanpa rasa takut. Sebelumnya mereka telah dilarang untuk masuk Mekkah dan karena itu membikin perjanjian di Huday­biyah dengan pihak Quraisy. Pertama-tama, Muslim tidak suka dengar. syarat-syaratnya, tetapi ayat yang turun setelah perjanjian itu menyebutnya sebagai sebuah kemenangan.
Dua tahun setelah perjanjian ini terbuktilah kebenaran ayat itu Para pemimpin Quraisy seperti Khalid ibn Walid dan Amr ibn al-As menjadi Muslim, dan Islam menyebar ke seluruh Arab. Konspirasi Yahudi diakhiri, dan Islam masuk ke negeri-negeri lain melalui surat-surat yang dikirimkan ke raja-raja tetangga. Pada akhir periode ini. Banu Bakr (sekutu Quraisy) menyerang Banu Khuda'a (sekutu Muslim dan membunuh beberapa orang di antara mereka. Gencatan senjata antara Muslim dan Quraisy kini berakhir. Tak ada lagi yang bisa menahan Muslim. Abu Sufyan datang ke Madinah dengan harapa­n dapat memperbaharui perjanjian gencatan. Tetapi Rasulullah tidak bersedia menemuinya.[21]
Rasulullah mulai bersiap untuk perang. Seperti biasa, dia menjaga rahasia dan tak seorangpun, termasuk istri dan sahabat terdekatnya tahu ke mana perang akan diarahkan. Ketika Abu Bakar bertanya kepada putrinya, Aisyah (istri Rasulullah) tentang ke mana Rasulullah akan berangkat, Aisyah mengatakan bahwa dirinya tak tahu. Akan ­tetapi, seorang Muhajirin bernama Khatib ibn Abi Balta'a menebak niatnya dan mengirimkan surat kepada kaum Quraisy tentang persiapan Nabi. Rasulullah mengetahui hal ini melalui wahyu dan kemudian memerintahkan Ali dan Zubayr untuk merebutnya dari. perempuan yang dipercaya oleh Khatib untuk membawanya kepada kaum Quraisy. Mereka berdua berhasil merebutnya.
Rasulullah meninggalkan Madinah dengan membawa 10.000 pasukan. Dua tahun sebelumnya, mereka berjumlah 1600 saat hendak melaksanakan umrah yang berakhir dengan perjanjian Hudaybiyah Suasana damai yang dihasilkan dari perjanjian itu membuat banyak  orang masuk Islam.
Para sahabat tidak tahu tujuan perjalanan itu sampai ketika mereka diperintahkan untuk berangkat ke Mekah. Saat mereka mendekati kota suci ini Rasulullah memerintahkan setiap prajurit untuk menyakan api, sebab orang-orang Mekkah akan menyalakan api untuk setiap saat berjalan di gurun.[22] Sebagai akibatnya, orang-orang Mekkah memperkirakan tentara Muslim berjumlah 30.000 orang. Karena tak ada cara realistis lagi untuk melawan, mereka akhirnya menyerah. Abu sufyan, yang diundang oleh Rasulullah untuk menyaksikan tentara muslim, juga menganjurkan mereka untuk menyerah.
Rasulullah tidak ingin pertumpahan darah. Ia membagi tentaranya menjadi enam regu, masing-masing memasuki Mekkah melalui rute yang berbeda. Dia memerintahkan mereka untuk menghindari pertum­pahan darah kecuali mereka diserang. Untuk merealisasikan tujuan ini dan menaklukkan Mekkah secara damai dia mengumumkan: Barang­ siapa yang berlindung di Kabah akan aman, barangsiapa yang berlindung di rumah Abu sufyan akan aman, dan barang siapa yang berdiam rumah mereka akan aman.
Nabi yang menjadi rahmat alam yang datang untuk menjaga kebahagiaan umat manusia baik di dunia maupun akhirat akhirnya masuk ke Mekkah, duduk di atas tunggangannya, sebagai seorang pemenang. Dia tak menampakkan kebanggaan diri dan tidak pernah berpikir untuk membalas dendam. Dia langsung menuju Ka’bah dengan rendah hati dan hormat kepada Allah, yang menjadikan dirinya pemenang dalam misi suci ini. Berhenti di depan Ka'bah, dia bertanya cepada musuh-musuhnya, "Apa yang kalian inginkan dariku dalam memperlakukan kalian?" Mereka menjawab: "Engkau adalah lelaki mulia, putra dari lelaki mulia." Rasulullah berkata: "Hari ini tidak akan ada celaan atas kalian. Allah akan mengampuni kalian; Dia adalah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kalian boleh pergi."[23]
Ini menandai berakhirnya kemusyrikan di Mekkah. Sambil menghancurkan berhala di Ka'bah, Nabi membaca surat al-isra’ ayat 81:
وقل جاء الحق وزهقا لبا طل.ان البا طل كان زهوقا (الا سراء : ٨١)

Artinya: Katakanlah,kebenaran  telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu pasti lenya. (Q.S Al-Isra’: 81)

Ini adalah merupakan tahapan terakhir bagi perjalanan hidup rasulullah Saw. Tahapan yang menggambarkan keberhasilan dakwah islam, dimana semuanya itu berjalan setelah melewati proses jihad yang panjang, ditempuh dengan kelelahan selama 20 tahun.
Penaklukan mekkah merupakan bagian keberhasilan yang terpenting yang pernah diperoleh kaum muslim selama bertahun-tahun . sebuah keberhasilan yang dapat merubah hari-hari dan atmosfir (keadaan) kehidupan bangsa arab. Oleh sebab itu, ketundudkan kaum quraisy dianggap sebagai kesudahan bagi agama panganis (penyembah berhala) disemenanjung jazirah arab.


[10]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2001), hal. 57
[11]Fuad Hashen,  Sirah Muhammad Rasulullah, (Bandung:  Mizan, 2000), hal. 173.
[12]Ibid, hal. 196.
[13]Ukasyah Abdul Mannan Ath-Thibi, Pendamping Hidup, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hal. 32.
[14]Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Beirut: Dar  Al-Andalus, t.t), hal 48.
[15]Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury, Perjalanan hidup Rasul Yang Agung Muhammad SAW, Terj, Hanif Yahya, (Jakarta: Darul Haq, 2005), hal. 87.
[16]Abdullah Bin Muhammad Bin 'Abdul Wahab An-Najdiy, Mukhtashar Siratir Rasul, (Mesir: Al – Maktabah As-Salafiyyah, t. t ), hal. 75.
[17]Sufyan Bin Fuad Baswadan, Ibunda Para Ulama, (Klaten: Wafa Press,  2007), hal. 93 .
[18]Muhammad Al-Ghazaliy, Fiqhus Sirah Terj, Abu Laila, Muhammad Tohir, (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.) hal. 84.
[19]Ibid, hal. 104
[20]Ibnu Qayyim, Zadul Ma’ad, Jilid I, (Mesir: Al-Matha’ah Al-Misriyyah, t.t), hal. 18.
[21]M. Fathullah Gulen, Kehidupan Rasul Allah Muhammad SAW, Terj, Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 262.
[22]Ibid, hal. 263.
[23]Ibid, hal. 272

Tidak ada komentar:

Posting Komentar