Senin, 02 Mei 2011

PENGARUH TV TERHADAP PERKEMBANGAN JIWA DAN PRESTASI ANAK


A.    Pendidikan Anak Dalam Rumah Tangga
Sesuatu yang dilakukan atau dikerjakan  oleh seseorang membutuhkan metode atau cara. Metode yang digunakan seseorang  tidak sama, karena sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuannya. Bila seseorang dapat menggunakan metode yang tepat dan akurat maka bimbingan  yang dilakukan akan berhasil dengan baik, sebaliknya jika metode yang digunakan kurang sesuai maka hasil yang dicapai tentu akan jauh dari yang diharapkan.
            Sebuah keluarga dapat melakukan bimbingan dengan baik terhadap anak-anaknya  apabila ayah dan ibu dalam keluarga tersebut  menguasai metode yang tepat dalam memberikan bimbingan. Banyak metode dalam memberikan bimbingan terhadap anak dapat dilakukan, antara lain :

1. Pembiasaan sikap jujur
            Membiasakan anak-anak serta memperlihatkan yang baik dari orang tuanya, akan turut membentuk kepribadian anak-anak ke arah yang baik, demikian pula praktek orang tua berlaku jujur terhadap orang lain, baik perbuatan ataupun perkataan di depan anak-anak adalah suatu cara menanamkan kebiasaan bertanggung jawab terhadap orang lain. Pemberian itu akan lebih berkesan pada anak-anak bila disertai penjelasan dari orang tua, dari persamaan dan persaudaraan manusia.
            Oleh karena itu pembiasaan kemauan anak-anak untuk mau berlaku jujur perlu dibimbing  dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan keluarga.  Kewajiban orang tua memperlihatkan tingkah laku yang baik dan sifat jujur sesama anggota keluarga maupun tetangga terdekat, misalnya jika ada seseorang ingin berjumpa  dengan tetangga kita, kebetulan tetangga tersebut tidak ada di rumah, lantas orang  datang tadi menitipkan amanah pada  kita untuk disampaikan kepada tetangga. Ini harus dapat dilaksanakan dengan baik orang tua, karena hal tersebut akan dilihat oleh anak, dan ada baiknya amanah tersebut pada si anak kita suruh sampaikan.
            Sehubungan dengan keterangan di atas Abdurrahman Saleh mengatakan sebagai berikut:
Sebenarnya mengajar tentang kebiasaan anak harus dimulai semenjak ia kecil, agar kebiasaan-kebiasaan itu sudah menjadi tabi`atnya, anak-anak akan timbul kebiasaan-kebiasaan, kepada anak-anak harus hati-hati benar karena kebiasaan itu baik, maka baiklah pendidikannya. Karena dengan pendidikan hendaknya dicapai kebiasaan-kebiasaan yang baik. Pembiasaan itu  dilaksanakan diulang-ulang sehingga suatu  kebiasaan menjadi milik anak-anak yang sukar dilupakan, dengan kata lain bahwa pembiasaan itu adalah merupakan suatu sumber dari pada kepatuhan.[1]

            Jadi pembiasaan oleh orang tua kepada anak-anaknya dalam melakukan kejujuran itu akan melahirkan suatu kesan dalam jiwa anak itu sendiri, yaitu timbulnya rasa kasih sayang dan tolong menolong secara jujur baik sesama kawan dan sesama anggota keluarganya.


2. Contoh teladan
            Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh orang tua dalam memberikan contoh teladan dan menggugah sifat-sifat kasih sayang pada anak-anak untuk berlaku jujur terhadap orang lain, dan ikut beramal bakti, misalnya. Setiap hari jum`at orang tua  memberikan uang kepada anak-anak mereka untuk dimasukkan tabungan amal yang diedarkan kepadanya. Kemudian apabila mereka setelah kembali ke rumah kita tanyakan kembali kepada anak apakah uang tersebut yang kita berikan dimasukkan ke dalam tabungan amal atau digunakan untuk kepentingan lainnya.
            Demikianlah salah satu cara memberikan contoh teladan dalam rangka pembiasaan kejujuran pada anak, jika itu dapat dilakukan oleh orang tua dengan baik maka anak  kepribadian anak cenderung akan dihiasi dengan kejujuran.
            Oleh Karena itu orang tua sebagai penanggung jawab di rumah tangganya harus memahami  dan mengamalkan cara-cara pembinaan kejujuran pada anak yang tepat dan efektif. Jika hal itu dapat dilakukan oleh orang tua dengan baik, maka anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan, dan akan berguna dalam masyarakat kelak. Sebaliknya jika orang tua tidak pandai membina kejujuran pada anaknya, maka kehidupan anak-anaknya nanti akan pandai berdusta yang sungguh sangat membahayakan pribadi anak itu sendiri dan juga orang tua si anak selaku orang yang sangat bertanggung jawab atas segala kesalahan yang dilakukan oleh si anak.
Orang tua dalam memberian pendidikan kepada anak-anaknya dapat menerapkan berbagai cara agar anak dalam proses pendidikan yang diberikan tidak merasakan tekanan dan suatu beban.           Orang tua bisa memberikan pendidikan keada anaknya secara lisan dimana orang tua menceritakan tentang apa yang ingin disampaikan kepada anak-anakbya pada waktu tertentu dan tempat tertentu pula, ini dilaksanakan secara lisan. Dalam cara orang tua dan anak duduk, melihat dan mendengar, serta percaya bahwa apa yang diceramahkan itu benar, anak mengutip ikhtisar ceramah orang tua semampu anak sendiri. Melalui metode ini dapat disampaikan oleh orang tua tentang kelebihan orang-orang yang berlaku jujur serta tentang kerugian orang-orang yang suka berdusta.  
Selanjutnya  orang tua dapat memberikan contoh dalam bentuk pengajaran tanpa harus menceritakan sebelumnya kepada anak yang dikhawatirkan anak akan menjadi bosan. Ornag tua dapat lengsung memberikan bentuk sikap yang menunjukkan pengajaran kepada anak misalnya orang tua merapikan alat-alat shalat sesudah mereka shalat.[2]
Dari pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa metode demontrasi bertujuan agar anak  dapat lebih mudah memahami sesuatu yang sebelumnya mereka rasakan sulit. Metode ini digunakan pada saat membimbing anak  praktek ibadah seperti shalat, memandikan mayet, rukun haji dan hal-hal lainnya yang memerlukan kepada peragaan. Karena dengan melihat langsung peragaan yang diberikan oleh orang tua anak  dapat memahami dengan baik, dan sekaligus dapat mempraktekkannya dalam kehidupannya sehari-hari dengan benar.
Membimbing anak dapat dilakukan dengan berbagai metode, namun sikap lemah lembut tidak boleh dikesampingkan, akan tetapi harus diutamakan oleh orang tua.  Hal ini sebagaimana dikatakan  Muhammad Syarif ash-shawwaf   bahwa:
Sesungguhnya, kelembutan  dan kasih sayang yang diberikan  orang tua kepada anak-anaknya memiliki makna pendidikan yang sangat besar  dan penting. Sebab, ia merupakan tali pengikat   jiwa dan ruh  antara orang tua dan anak-anaknya, dan membuat arahan  orang tua kepada anak-anaknya dapat diterima dan dilaksanakan dalam tingkah lakunya.[3]

   Jadi jelas lemah lembut merupakan hal penting dalam membimbing anak oleh orang tua. Hal ini cukup beralasan karena apabila orang tua atau keluarga berlaku kasar dalam membimbing anak maka mereka cenderung berwatak:
1. Anak tidak hormat pada orang tuanya
Orang tua sebagai pemimpin dalam rumah tangga sekaligus menjadi panutan bagi anak-anaknya. Baik tidaknya karakter anak sangat dipengaruhi oleh sikap dan prilaku orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari.  Untuk itu para orang tua harus memiliki prilaku yang terpuji (uswatun hasanah), tidak boleh bersikap otoriter dalam rumah tangga karena anak akan meniru semua bentuk sikap yang ditanpilkan oleh orang tuanya.
            Besarnya pengaruh sikap dan prilaku orang tua terhadap anak perkembangan karakter anak adalah suatu hal yang sangat wajar, karena sejak anak lahir orang tua selalu berada bersama anak, memberikan segala yang dibutuhkan anak, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Kalau orang tua selalu bersikap keras  atau tidak dengan lemah lembut  dalam membimbing  anak-anaknya, maka sikap dan perkembangan karakter anak cenderung kepada apa yang ditampilkan oleh orang tuanya, dan si anak akan tidak hormat lagi kepada orang tuanya.  Sehubungan dengan keterangan di atas para ahli  menjelaskan bahwa, “Sikap keras dan kasar orang tua menjadikan anak lebih menjijikkan dan tidak baik terutama bagi anak-anak mereka. Hubungan orang tua-anak seutuhnya menjadi tidak seimbang, tidak sehat, dan kemudian menciptakan suatu jarak destruktif antara kedua belah pihak.”[4]
            Dapat dipahami bahwa jika orang tua memiliki sikap otoriter di lingkungan rumah tangga, maka anak cendrung membenci atau tidak hormat terhadap orangnya. Bahkan anak akan lari dari belenggu orang tuanya untuk mencari kebebasan, dan keleluasaan pada orang lain atau lingkungan lain. Oleh karena itu Islam sangat melarang orang tua bersikap keras dalam menghadapi anak, dan Islam menganjurkan dengan cara-cara lemah lembut.
2. Anak jadi penakut dan kurang percaya diri
Penakut adalah suatu karakter yang timbul karena berbagai faktor, di antaranya adalah karena orang tuanya bersikap otoriter di lingkungan rumah tangga. Sehingga anak takut terhadap orang tuanya sendiri pada hal orang tua adalah tempat anak bermanja, dan meminta berbagai keinginan.
Sikap penakut termasuk karakter yang sangat berbahaya jika dimiliki oleh anak, karena dapat menghalangi anak melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat. Oleh karena itu para orang tua harus dapat menghindari agar anak tidak memiliki karakter penakut tersebut. Dengan karakter penakut anak akan gagal dalam belajar di sekolah dan di tempat pengajian. Ini cukup beralasan bagi kita, jika seseorang anak menjadi penakut, maka di kelas waktu belajar ia akan tertinggal, atau tidak muncul. Dia tidak berani mengemukakan pendapat atau argument, pada hal ia memilikinya. Akan tetapi karena dibelenggu oleh karakter penakut tadi, maka ia terdiam bisu di dalam ruangan kelas.
Karena karakter penakut yang dimiliki oleh  anak juga akan kurang percaya diri, sehingga sesuatu yang benar dapat menjadi salah. Pada hal sifat percaya diri sangat penting dimiliki oleh setiap anak, karena dengan adanya sifat tersebut pada seseorang anak, maka dalam mengerjakan atau menghadapi  berbagai masalah anak tidak mudah terpengaruh dengan hal-hal  tidak baik yang dapat terganggu  keberhasilan kegiatan yang dilakukannya.
Orang tua  sebagai pembimbing  sebenarnya adalah orang yang menanamkan sifat percaya diri pada anak, yaitu dengan cara menanamkan akhlak yang memadai. Bukan sebaliknya yaitu orang yang membuat anak tidak percaya diri. Sifat percaya diri pada anak sangat penting karena dapat dijadikan sebagai modal dalam mengatasi kecendrungan melakukan berbagai perbuatan yang tidak bermanfaat.
Sebenarnya sifat percaya diri dapat ditanamkan pada anak dengan cara membiasakan anak dengan perbuatan-perbuatan yang baik serta pasti, sehingga anak terbiasa dengan hal-hal yang tidak meragukan lagi. Di samping itu juga perlu ditanamkan bakat-bakat yang  terpendam dalam jiwa yang sudah jelas kelihatannya. Ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ny. Singgih D. Gunarsa berikut ini: “Untuk menambah kepercayaan pada diri sendiri  atau untuk mengembalikan  keyakinan diri, sebaiknya anak diancurkan untuk menyalurkan  bakat-bakat terpendam, dan memperkembangkan bakat-bakat yang sudah kelihatannya.”[5]
Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa  sifat percaya diri pada anak dapat ditumbuh kembangkan dengan menyalurkan bakat-bakat masih terpendam, maupun bakat yang sudah nampak kelihatannya.
Dengan adanya sifat percaya diri pada anak  maka dalam kehidupannya tidak mudah terpengaruh dengan berbagai godaan yang dapat menghancurkan masa depan anak. Seperti menurunnya prestasi dalam belajar dan sebagainya.
Percaya diri dapat pula diartikan  anak patuh pada pendidikan yang diperolehnya, maksudnya segala sesuatu ia kerjakan  berpedoman pada pendidikan atau pun peraturan yang diterimanya baik dari orang tua maupun dari pendidik lainnya di lingkungan sekolah atau masyarakat.
Untuk mengatasi masalah  ketakutan bagi anak, maka hendaklah  diperhatikan  beberapa solusi bagi anak adi antaranya:
  1. Mendidik anak sejak masa  kcil hingga  dewasa dengan iman  kepada Allah.
  2. memberikan  kebebasan  bertindak kepada anak, memikul  tanggung jawab dan berlatih menjalankan  tugas-tugas sesuai  dengan  tingkat  pertumbuhan  dan perkembangan anak.
  3. Jangan sering mankut-nakuti anak dengan binatang buas, hantu, setan, jin atau ifrit. Termasuk waktu ia menangis agar terlepas dari bayang-bayangan ketakutan.
  4. Sejak anak  mencapai usia  maupun berpikir, hendaklah diberi kelulusan untuk bergaul secara  praktis, bertemu dan berkenalan dengan orang-orang  lain, agar  di dalam lubuk hatinya  dapat menyadari bahwa dirinya adalah lubuk tempat kasih sayang, kecintaan  dan kehormatan bersama orang lain.[6]

Sejalan dengan berbahayanya sikap penakut pada anak, dan pentingnya sifat percaya diri, maka para orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab pada anak harus berusaha agar dapat  bersikap yang tidak membentuk karakter anak menjadi penakut, dan tidak percaya diri. Usahakanlah yang sebaliknya yaitu anak menjadi pemberani karena benar, dan percaya diri karena memiliki pendidikan dan pengetahuan. Untuk itu orang tua hendaknya memberikan kepuasan kepada anak. Hal  ini sebagaimana dijelaskan oleh Akhlak Husein: “Orang tua  hendaknya melakukan  kemungkinan terbaik untuk menjaga kebahagiaan dan kepuasan anak-anak mereka. Mereka hendaknya menghindari suatu sikap yang melukai perasaannya, ego atau harga diri.”[7]
Dengan  demikian anak akan hilang  rasa takut terhadap keluarga dan ia betah tinggal di rumah untuk belajar dan sebagainya. Karena bimbingan yang diterima dari orang  tua selalu baik dan tidak pernah dirasakan yang tidak senang.
3. Pemberontak atau pembangkang
            Kasih  sayang merupakan dambaan setiap anak, kapan dan di mana saja ia berada. Sebaliknya, rasa marah, benci dan kejam terhadap anak-anak akan mengakibatkan fatal terhadap karakter   anak. Orang tua harus menyadari bahwa kasih sayang merupakan kebutuhan jiwa yang utama bagi seseorang anak dalam hidupnya. Setiap anak ingin disayangi oleh orang tuanya, dan jika orang tua tidak lagi menyayangi anak maka anak akan mencarinya sendiri kasih sayang tersebut dengan berbagai cara, baik dengan cara yang wajar atau pun tidak. Bagi anak kecil kasih sayang orang tua  adalah faktor yang sangat menentukan untuk kelangsungan hidupnya. Karena apabila kasih sayang orang tua tidak ada, maka menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan jiwanya, hal yang seperti ini mengakibatkan terjadinya kegoncangan jiwa bagi anak dan akan membekas sampai anak dewasa.
            Oleh karena itu orang tua harus memberikan kasih sayang dengan sepenuhnya kepada anak-anak, rasa sayang yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak hendaklah secara sempurna tidak terlalu berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu kekurangan, supaya anak tidak merasa kurang disenangi atau merasa selalu bergantung kepada orang tuanya terus menerus akibat kasih sayang yang berlebihan. Misalnya rasa kasih sayang yang diberikan kepada anak tunggal secara berlebihan, sebenarnya ia sendiri mampu untuk melakukan atau melaksanakannya.
            Kasih sayang yang seperti ini adalah tidak pada tempatnya, karena walaupun menurut orang tua  bernilai kasih sayang, akan tetapi pada diri anak  adalah merupakan pemerkosaan hak perkembangannya, karena ia merasa hilangnya kebebasan dirinya dalam berbuat apa yang telah disanggupinya.
            Selanjutnya orang tua dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya haruslah bersikap adil tidak boleh membeda-bedakan terhadap semua anaknya, sehingga si anak merasa  bahwa ia mendapat kasih sayang yang sempurna dari orang tuanya.
            Dari keterangan di atas dapat dipahami betapa pentingnya kasih sayang orang tua terhadap anak. Akan tetapi jika di lingkungan rumah tangga orang bersikap otoriter, apakah kasih sayang juga dapat dirasakan oleh anak. Sementara anak hidup di bawah belenggu kekerasan karena tindakan orang tua. Yang jelas jika anak hidup di bawah kekerasan orang tuanya berarti anak kurang mendapat kasih sayang.
            Sikap orang tua yang otoriter membuat anak kurang mendapat kasih sayang, sehingga anak cendrung berontak, dan melakukan hal-hal tidak baik lainnya. Ini sebagaimana digambarkan oleh para ahli berikut ini:
Sikap benci dan tak berperasaan  dari orang tua sering membuat anak-anak mereka berontak, tidak patuh, bahkan agresif. Anak-anak ini mulai membenci orang tua mereka kapan saja mereka memperoleh kesempatan untuk membuat orang tua mereka susah dan gelisah, mereka pasti segera melakukannya. Anak-anak ini setelah beberapa tahun, tumbuh menjadi remaja, tetapi sayang mereka diberi julukan sebagai penjahat, dan para remaja ini, bersama dengan perjalanan waktu, menjadi pelaku kriminal yang kejam. Beberapa di antara mereka menghuni rumah sakit jiwa, dan beberapa dari mereka tetap tampak kerkeliaran di jalanan, diganggu dan dilempari anak-anak kecil di sekitar mereka.[8]

            Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami akibat yang timbul jika orang tua membenci anaknya, atau tidak ada kasih sayang orang tua terhadap anaknya, maka karakter anak selanjutnya adalah menjadi pemberontak baik terhadap orang tuanya maupun terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya.

B.     Lingkungan dan Pendidikan Anak
Lingkungan merupakan sesuatu yang begitu berpengaruh terhap pendidikan yang dijalani oleh seorang anak. Banyak lingkungan yang mempengaruhi pendidikan anak diantaranya lingkungan rumah tangga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat. Oleh karenya penulis beranggapan bahwa lingkungan  untuk pendidikan anak haruslah diusahakan yang sesuai dengan anjuran Islam dimana anak harus diberikan suasana lingkungan yang dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang sesuai dengan islam.
Islam menghendaki program pendidikan yang menyeluruh, baik menyangkut aspek duniawi maupun ukhrowi. Dengan kata lain, pendidikan menyangkut aspek-aspek rohani, intelektual dan jasmani. Maka hal ini, proses pendidikan sangat didukung banyak aspek, terutama guru atau pendidik, orang tua, dan juga lingkungan. 
Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap kedewasaan anak didik, namun merupakan faktor yang sangat menentukan yaitu pengaruhnya yang sangat besar terhadap anak didik, sebab bagaimanapun anak tinggal dalam satu lingkungan yang disadari atau tidak pasti akan mempengaruhi anak. Pada dasarny lingkungan mencakuplingkungan fisik, lingkungan budaya, dan lingkungan sosial.
Lingkup materi pendidikan Islam secara lengkap dikemukakan oleh Heri Jauhari Muchtar dalam bukunya “Fikih Pendidikan”, sebagaimana dikutip dalam Sismanto, yang menyatakan bahwa pendidikan Islam itu mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
Pendidikan keimanan (Tarbiyatul Imaniyah)
Pendidikan moral/akhlak (Tarbiyatul Khuluqiyah)
Pendidikan jasmani (Tarbiyatul Jasmaniyah)
Pendidikan rasio (Tarbiyatul Aqliyah)
Pendidikan kejiwaan/hati nurani (Tarbiyatulnafsiyah)
Pendidikan sosial/kemasyarakatan (Tarbiyatul Ijtimaiyah)
Pendidikan seksual (Tarbiyatul Syahwaniyah)[9]
Secara umum, keseluruhan ruang lingkup materi pendidikan Islam yang tercantum di atas, dapat dibagi manjadi 3 materi pokok pembahasan. Ketiga pokok bahasan tersebut yakni; Tarbiyah Aqliyah (IQ learning), Tarbiyyah Jismiyah (Physical learning), dan Tarbiyatul Khuluqiyyah (SQ learning).[10] 
Pertama, adalah Tarbiyah Aqliyah (IQ learning). Tarbiyah aqliyah atau sering dikenal dengan istilah pendidikan rasional (intellegence question learning) merupakan pendidikan yang mengedapan kecerdasan akal. Tujuan yang diinginkan dalam pendidikan itu adalah bagaimana mendorong anak agar bisa berfikir secara logis terhadap apa yang dlihat dan diindra oleh mereka. Input, proses, dan output pendidikan anak diorientasikan pada rasio (intellegence oriented), yakni bagaimana anak dapat membuat analisis, penalaran, dan bahkan sintesis untuk menjustifikasi suatu masalah.[11] Misalnya melatih indra untuk membedakan hal yang di amati, mengamati terhadap hakikat apa yang di amati, mendorong anak bercita-cita dalam menemukan suatu yang berguna, dan melatih anak untuk memberikan bukti terhadap apa yang mereka simpulkan. 
Kedua, Tarbiyyah Jismiyah (Physical learning). Yaitu segala kegiatan yang bersifat fisik dalam ranhgka mengembangkan aspek-aspek biologis anak tingkat daya tubuh sehingga mampu untuk melaksanakan tugas yang di berikan padanya baik secara individu ataupun sosial nantinya, dengan keyakinan bahwa dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat “al-aqlussalim fi jismissaslim“ sehingga banyak di berikan beberapa permainan oleh mereka dalam jenis pendidikan ini.[12] 
Dan ketiga, Tarbiyatul Khuluqiyyah (SQ learning) Makna tarbiyah khuluqiyyah disini di artikan sebagai konsistensi seseorang bagaimana memegang nilai kebaikan dalam situasi dan kondisi apapun dia berada seperti; kejujuran, keikhlasan, mengalah, senang bekerja dan berkarya, kebersihan, keberanian dalam membela yang benar, bersandar pada diri sendiri (tidak bersandar pada orang lain), dan begitu juga bagaimana tata cara hidup berbangsa dan bernegara.[13] 
Dalam kehidupan manusia, tingkah laku atau kepribadian merupakan hal yang sangat penting sekali, sebab aspek ini akan menentukan sikap identitas diri seseorang. Baik dan buruknya seseorang itu akan terlihat dari tingkah laku atau kepribadian yang dimilikinya. Oleh karena itu, perkembangan dari tingkah laku atau kepribadian ini sangat tergantung kepada baik atau tidaknya proses pendidikan yang ditempuh. 
Proses pembentukan tingkah laku atau kepribadian ini hendaklah dimulai dari masa kanak-kanak, yang dimulai dari selesainya masa menyusui hingga anak berumur enam atau tujuh tahun. Masa ini termasuk masa yang sangat sensitif bagi perkembangan kemampuan berbahasa, cara berpikir, dan sosialisasi anak. Di dalamnya terjadilah proses pembentukan jiwa anak yang menjadi dasar keselamatan mental dan moralnya. Pada saat ini, orang tua harus memberikan perhatian ekstra terhadap masalah pendidikan anak dan mempersiapkannya untuk menjadi insan yang handal dan aktif di masyarakatnya kelak.
a.       Lingkungan Keluarga                  
Lingkungan  yang pertama dan utama dilalui anak adalah keluarga. Di sini anak memperoleh pendidikan dan pengalaman yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan si anak.
            Islam memerintahkan terhadap orang tua untuk memimpin dan memelihara keluarganya dari api neraka. Ini sesuai dengan firman Allah SWT yang bunyinya sebagai berikut:
$k'»ƒ ûï%!# #qZB#ä #q% /3¡ÿR& /3=d&r #$R (التحريم:٦).

Artinya   :  Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka … (At-Tahrim: 6).

            Kewajiban bagi orang tua adalah membekali  anak-anaknya dengan pendidikan, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan. Hal ini juga akan mempengaruhi prestasi anak dalam belajar.
Orang tua dalam menjaga dan membesarkan anak perlu juga memberikan rasa aman. Karena rasa aman tersebut membuat seseorang terdorong untuk belajar secara aktif. Dalam hal ini Zakiah Daradjat menjelaskan bahwa:
Dalam sebahagian kasus kejiwaan sering datang kepada ahli jiwa untuk meminta tolong, terlihat dengan nyata betapa besarnya pengaruh orang tua dalam terjadinya kelainan-kelainan misalnya diantara gejala yang agak banyak terjadi di kalangan pemuda pelajar ialah menurunnya kemampuan untuk belajar, tidak mampu berkonsenterasi dan sebagainya sehingga mereka malas belajar, bahkan sampai tidak mau belajar sama sekali.[14]

   Dengan demikian jelas bahwa kerjasama antara orang tua  dan guru di sekolah serta masyarakat merupakan suatu hubungan yang sangat erat dalam mengembangkan prestasi belajar siswa, jika orang tua tidak memperhatikan anak di sekolah, maka guru akan mengalami kendala dalam melakukan proses belajar mengajar. Demikian juga masyarakat yang merupakan  salah satu lingkungan yang ikut mempengaruhi anak melakukan berbagai kegiatan perlu memberikan dukungan terhadap kelangsungan proses belajar mengajar di sekolah.
Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialamai oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh adn berkembang dengan baik.
Di dalam lingkungan keluarga, orang tua berkewajiban untuk menjaga, mendidik, memelihara, serta membimbing dan mengarahkan dengan sungguh-sungguh dari tingkah laku atau kepribadian anak sesuai dengan syari’at Islam yang berdasarkan atas tuntunan atau aturan yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an dan hadits. Tugas ini merupakan tanggung jawab masing-masing orang tua yang harus dilaksanakan. 
Jadi, karena pengaruh lingkungan atau faktor luar sangat berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek psikologis sang anak, maka peran pendidikan sangatlah penting dalam proses pembentukan dari tingkah laku atau kepribadiannya tersebut. Dalam hal ini, pendidikan keluarga merupakan salah satu aspek penting, karena awal pembentukan dan perkembangan dari tingkah laku atau kepribadian atau jiwa seorang anak adalah di melalui proses pendidikan di lingkungan keluarga. Dilingkungan inilah pertama kalinya terbentuknya pola dari tingkah laku atau kepribadian seorang anak tersebut. Pentingnya peran keluarga dalam proses pendidikan anak dicantumkan di dalam Al-Qur’an, yang mana Allah SWT berfirman dalam surah Al-Furqan ayat 74, yang artinya sebagai berikut : 
ûï%!#r cq9q)ƒ $Y/ =d $Y9 `B $Z_ºr& $YG»ƒŒr o% úüã& $Y=è_#r úü)FJ=9 $B$B) (الفرقان:٧٤)
Artinya   :  Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Furqan:74)

Jadi, di dalam proses pendidikan di dalam lingkungan keluarga, masing-masing orang tua memiki peran yang sangat besar dan penting. Dalam hal ini, ada banyak aspek pendidikan sangat perlu diterapkan oleh masing-masing orang tua dalam hal membentuk tingkah laku atau kepribadian anaknya yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Diantara aspek-aspek tersebut adalah pendidikan yang berhubungan dengan penanaman atau pembentukan dasar keimanan (akidah), pelaksanaan ibadah, akhlak, dan sebagainya.
Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang diproses oleh seseorang di dalam lingkungan rumah tangga atau keluarga. Sistem pendidikan ini merupakan unsur utama dalam pendidikan seumur hidup, terutama karena sifatnya yang tidak memerlukan formalitas waktu, cara, usia, fasilitas, dan sebagainya. Pada dasarnya, masing-masing orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka tidak hanya berkewajiban mendidik atau menyekolahkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan. Akan tetapi mereka juga diamanati Allah SWT untuk menjadikan anak-anaknya bertaqwa serta taat beribadah sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits. 
Jadi, orang tua tidak seharusnya hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak-anak mereka kepada pihak lembaga pendidikan atau sekolah, akan tetapi mereka harus lebih memperhatikan pendidikan anak-anak mereka di lingkungan keluarga mereka, karena keluarga merupakan faktor yang utama di dalam proses pembetukan kepribadian sang anak. Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah yang mana beliau telah berhasil mendidik keluarga, anak-anak, serta para sahabatnya menjadi orang-orang yang sukses dunia-akhirat, walaupun beliau tidak pernah mengikuti jenjang pendidikan formal seperti lembaga-lembaga sekolah. 
Pendidikan orang terhadap anak dalam lingkungan keluarga sangat penting, apalagi pada periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama). Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah, sebagaimana dikutip dalam Al-Hasan, Yusuf M, yang menyatakan bahwa : “periode ini merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periode ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa.”[15] 
Namun sejalan dengan bertambahnya usia sang anak, kadang-kadang muncul persoalan baru. Ketika beranjak dewasa anak dapat menampakkan wajah manis dan santun, penuh berbakti kepada orang tua, berprestasi di sekolah, bergaul dengan baik dengan lingkungan masyarakat di sekelilingnya, tapi di lain pihak dapat pula sebaliknya. Perilakunya kadang-kadang menjadi semakin tidak terkendali, bentuk kenakalan berubah menjadi kejahatan, dan orang tua pun selalu cemas memikirkanya. Maka dalam hal ini, peranan orang tua sangat berpengaruh penting. Jadi, Pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan anak ini disebabkan oleh karena pendidikan yang diperoleh anak dari pengalaman sehari-hari dengan sadar pada umumnya tidak teratur dan tidak sistematis. 
Menjaga lingkungan si anak, harus menciptakan lingkungan yang sesuai dengan ajaran yang diberikan pada anak. Akan tetapi, dalam mendidik anak orang tua hendaknya berperan sesuai dengan fungsinya. Masing-masing saling mendukung dan membantu. Bila salah satu fungsi rusak, anak akan kehilangan identitas. Pembagian tugas dalam Islam sudah jelas, peran ayah tidak diabaikan, tapi peran ibu menjadi hal sangat penting dan menentukan. 

C.    Televisi dan Pendidikan Anak
Televisi merupakan media massa elektronik yang sangat digemari hampir disegala jenjang usia, baik oleh anak-anak remaja maupun orang dewasa sekalipun. Menonton acara televisi sebenarnya sangat baik bagi anak-anak, remaja dan orang dewasa, dengan catatan apabila menonton televisi tersebut tidak berlebihan, acara yang ditonton sesuai dengan usia, dan bagi anak-anak adanya kontrol/pengawasan dari orang tua. Namun kenyataan yang terjadi, banyak dari anak-anak menonton acara yang seharusnya belum pantas untuk ia saksikan serta kebiasaan menonton televisi telah menjadi kebiasaan yang berlebihan tampa diikuti dengan sikap yang kreatif, bahkan bisa menyebabkan anak bersikap pasif.
Di antara berbagai media massa, televisi memainkan peran yang terbesar dalam menyajikan informasi yang tidak layak dan terlalu dini bagi anak-anak. Menurut para pakar masalah media dan psikologi, di balik keunggulan yang dimilikinya, televisi berpotensi besar dalam meninggalkan dampak negatif di tengah berbagai lapisan masyarakat, khususnya anak-anak. Memang terdapat usaha untuk menggerakkan para orangtua agar mengarahkan anak-anak mereka supaya menonton program atau acara yang dikhususkan untuk mereka saja, namun pada prakteknya, sedikit sekali orangtua yang memperhatikan ini.
Kecemasan orangtua terhadap dampak menonton televisi bagi anak-anak memang sangat beralasan, mengingat bahwa banyak penelitian menunjukkan televisi memang memiliki banyak pengaruh baik negatif maupun positif. Yang dikhawatirkan dari kalangan orang tua adalah anak-anak yang belum mampu membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang pantas dan tidak pantas, karena media televisi mempunyai daya tiru yang sangat kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Namun demikian harus diakui bahwa kebutuhan untuk mendapatkan hiburan, pengetahuan dan informasi secara mudah melalui televisi juga tidak dapat dihindarkan. Televisi, selain selalu tersedia dan amat mudah diakses, juga menyuguhkan banyak sekali pilihan, ada sederet acara dari tiap stasiun televisi, tinggal bagaimana pemirsa memilih acara yang dibutuhkan, disukai dan sesuai dengan selera.[16]
Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya benar atau salah, anak mungkin tidak tahu. Di sinilah tugas orangtua untuk selalu memberi pengertian kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang diterapkan orangtua juga bisa teratasi kalau orangtua memberi penjelasan kepada anak.
Keberadaan orang tua dituntut untuk berperan lebih yaitu :
Pertama; memberi kesepakatan dengan jadwal kepada anak tentang mana acara yang boleh ditonton atau tidak, kapan boleh menonton, waktu sembahyang, waktu belajar, waktu tidur, bahkan waktu membantu orang tua di rumah dan berikan sanksi bila melanggar.
Kedua; dampingi anak-anak pada saat menyaksikan acara televisi dan upayakan dialog atau diskusi mengenai tayangan yang ditonton termasuk juga iklan-iklannya.
Ketiga; pantau terus kegiatan anak di luar rumah, bergaul dengan siapa, dikhawatirkan kalau menonton film-film porno yang ada di rumah temannya yang tidak terpantau oleh orang tuanya.
Keempat; yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan yang mengandung nilai-nilai agama yang harus selalu diterapkan dan ditumbuhkan di rumah yaitu dengan cara mengikutsertakan pendidikan keagamaan di luar jam sekolah, agar anak-anak kita mendapatkan bekal nilai-nilai agama sehingga mampu berpikir jernih, punya rencana dan masa depan yang baik. Apabila ditumbuh-kembangkan pendidikan agama kepada anak-anaknya niscaya apapun arus informasi yang bersifat negative yang datang dari luar ataupun dari kecanggihan teknologi tidak akan berpengaruh bagi anak-anak karena sudah memiliki bekal dan filter untuk menyerap atau menyaring informasi-informasi yang sifatnya negatif.[17]

Keempat peran orang tua tersebut, setidaknya dapat meminimalkan efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh televisi terhadap anak-anak. Tidak ada artinya jika kita terus menerus menyalahkan media televisi sebagai biang kerok dan kerusakan moral dan kepribadian anak-anak, karena media televisi sebagai media informasi dan hiburan akan terus hadir dan mengemuka di tengah-tengah kita yang akan terus mempengaruhi mental, emosi, fisik dan perkembangan jiwa anak, tapi di sini orang tua harus peka dan kritis terhadap tayangan-tayangan yang disajikan untuk anak-anaknya.
Sebagian orangtua bahkan tak peduli acara apa yang ditonton anaknya. Sepanjang si anak tidak bertanya atau bercerita, umumnya orangtua merasa apa pun yang disuguhkan televisi sebagai “teman” anaknya selama mereka tidak berada di rumah tak perlu dipermasalahkan.
Kalau toh ada pengaruh buruk televisi terhadap sebagian orang, maka sebagian lainnya menganggap hal itu sama sekali bukan urusannya. Padahal, sangat mungkin pengaruh buruk itu pun mengenai anggota keluarganya, hanya dia tak cukup jeli atau punya cukup waktu untuk memperhatikannya. Meskipun belakangan ini sebagian stasiun televisi sudah mencantumkan tanda bahwa program itu untuk orang dewasa, memerlukan bimbingan orangtua, atau memang acara yang dianggap pantas ditonton anak-anak, kenyataannya hanya sekitar 15 persen saja anak yang mengatakan selama menonton televisi didampingi oleh orangtuanya.
Memang tak semua pengaruh televisi bisa langsung tampak akibatnya pada anak-anak yang menjadi pemirsanya. Mungkin karena itulah sampai sekarang masih banyak orangtua yang membiarkan apa pun acara yang ingin ditonton anaknya, sepanjang itu tak lebih dari pukul 21.00.
Sebagian orangtua beranggapan, stasiun televisi telah menyeleksi program acaranya. Dengan demikian, semua acara yang ditayangkan sebelum sekitar pukul 21.00 relatif aman untuk konsumsi anak-anak. Padahal kalau dicermati, tak sedikit acara sebelum pukul 21.00 yang sebenarnya tak pantas ditonton anak-anak. Misalnya, film-film Warkop yang jelas-jelas selalu menyerempet pada hal-hal berbau seks.
Televisi telah mengubah cara berpikir anak. Anak-anak yang terlalu banyak menonton televisi biasanya akan tumbuh menjadi sosok yang sulit berkonsentrasi dan kurang perhatian pada lingkungan sekitar. Mereka hanya terpaku pada televisi.
Bagi anak-anak, kebiasaan menonton televisi bisa mengakibatkan menurunnya minat baca anak-anak terhadap buku, serta masih banyak lagi dampak negatif lainnya jika dibandingkan dampak positifnya yang hanya sedikit sekali. Anak-anak cenderung lebih senang berlama-lama didepan televisi dibandingan harus belajar, atau membaca buku.

D.    Perumusan Hipotesis
Sudjana menyatakan bahwa hipotesis adalah : “sebagai pendapat yang kebenarannya masih rendah atau kadar kebenarannya masih belum meyakinkan sehingga perlu diuji atau dibuktikan kebenarannya secara empiris.”[18]
Pada hakikatnya hipotesis adalah jawaban sementara atau dengan jawaban dari suatu masalah. Sebagai jawaban sementara atau dugaan sudah pasti jawaban tersebut belum tentu benar dan karenanya perlu dibuktikan atau diuji kebenarannya.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : “Televisi Mempunyai Pengaruh Negatif Terhadap Moral Anak di Rumah Tangga”.


[1] Abdurrahman Saleh, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 45.

[2] Ibid., hal. 296.

[3] Muhammad Syarif ash-shawwaf, Kiat-kiat Efektif Mendidik Anak dan Remaja, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003),  hal. 107.

[4] Ibid., hal. 145

[5] Singgih D. Gunarsa, Psikologi Anak Bermasalah, (Jakarta: Gunung Mulia, 2000),         hal. 81

[6] Fauzi Saleh dan Amiruddin, Pendidikan Islam Solusi Problematika Modern Metode Pembinaan Anak Pada  Masa Pubertas, (banda Aceh: Yayasan Pena, 2007), hal. 133-134.

[7] Akhlak Husein,  Menjadi Orang Tua (Muslim) Terhormat,  (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal. 114.

[8] Akhlak,  Menjadi Orang ...,  hal. 160.

[9] Sismanto, Fikih Pendidikan, (Jakarta; Rhineka Cipta, 2000), hal. 81.

[10] Ibid
[11] ibid, hal. 84.

[12] Ibid, hal. 85

[13] ibid
[14] Zakiah Daradjat, Problema Remaja Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, l986), hal. 20.
[15] Al-Hasan, Yusuf M, Perkembangan Manusia Dari Awal kehidupan, (Jakarta: Pustaka Ceria, 2001), hal. 68.
[16] Al-Hasan, Yusuf M, Perkembangan Manusia …, hal. 95.

[17] Mansyur, Mendidik anak Sejak dalam kandungan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka Utama, 2004), hal. 46.
[18] Sudjana, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1995), hal.37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar