Senin, 02 Mei 2011

MASA NABI MUHAMMAD DI MADINAH


A.     Kondisi Madinah Sebelum Kedatangan Nabi

Hijrah bukan berarti hanya sekedar lolos dari fitnah dan penyiksaan semata, akan tetapi lebih dari itu. Hijrah artinya merang­kai kerjasama untuk membangun tatanan baru di negeri yang aman. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi setiap individu Muslim yang mampu untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan tanah air yang baru ini dan berupaya dengan segenap tenaga membentengi dan mengangkat citranya.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa Rasulullah dalam hal ini adalah sang imam, pemimpin sekaligus pemberi petunjuk di dalam membangun masyarakat ini. Dan tidak dapat dibantah pula, bahwa kepadanyalah diserahkan kendali semua urusan itu.
Kaum-kaum yang dihadapi oleh Rasulullah di Madinah terdiri dari tiga golongan, masing-masingnya berbeda kondisinya dengan yang lain dengan perbedaan yang mencolok. Beliau juga menghadapi beragam kaum tersebut dengan beragam masalahnya.
Adapun tiga golongan itu adalah:
1.      Para sahabatnya yang merupakan orang-orang pilihan, mulia dan ahli kebajikan.
2.      Kaum musyrikin yang belum beriman sementara mereka barasal dari jantung kabilah-kabilah di Madinah.
3.      orang-orang Yahudi
Problematika yang beliau hadapi terkait dengan para sahabat-nya adalah kondisi Madinah yang berbeda sama sekali dengan
kondisi yang telah mereka lalui ketika di Mekkah dulu. Sekalipun
mer
eka ini ketika di Mekkah dapat menyatukan kata dan memiliki
tujuan yang sama namun ketika itu mereka berada di rumah-rumah
terpisah
, hidup sebagai orang yang tertekan, dihina dan terusir.mereka juga tidak memiliki kendali apapun, tetapi kendali itu berada
di tangan musuh-musuh agama mereka. Kaum Muslimin tersebut
belum
mampu mendirikan suatu tatanan masyarakat Islam yang baru dengan perangkat-perangkatnya yang amat dibutuhkan oleh komunitas manusia di dunia ini. Oleh karena itu, kita melihat bahwa surat-­surat Makkiyyah hanya mengupas sebatas rincian-rincian prinsip-prinsip islam, syari’at-syari’at yang dimungkinkan untuk diterapkan secara individuil, anjuran berbuat kebajikan dan akhlaq mulia menjauhi kehidupan nista dan hina.[1]
Sedangkan ketika di Madinah, urusan dikendalikan oleh kaum Muslimin sendiri sejak dari pertama kalinya dan tidak ada seorang pun yang menguasai mereka. Karenanya, tibalah saatnya bagi mereka untuk menghadapi problematika peradaban dan pembangun, problematika kehidupan dan ekonomi, problematika politik dan pe­merintahan, problematika kondisi damai dan perang, penyeleksian ­total di dalam masalah halal dan haram, ibadah dan akhlak serta problematika-problematika kehidupan lainnya.
Sudah saatnya mereka membentuk masyarakat baru, masyarakat Islami yang pada setiap tahapan kehidupannya berbeda dengan ­tahapan kehidupan masyarakat Jahiliyyah dan unggul atas semua masyarakat yang ada di alam manusia serta mewakili dakwah isla­miyyah di mana selama sepuluh tahun kaum Muslimin menghadapi ­beraneka ragam deraan dan siksaan.
Bukan rahasia lagi, bahwa menciptakan masyarakat model ini ­tidak mungkin bisa rampung dalam sehari, sebulan bahkan setahun tetapi harus melalui masa yang lama sehingga proses pensyari'atan ­dan perundangannya dapat sempurna disertai pembekalan wawasan, pelatihan dan pendidikan secara bertahap. Allah-lah yang menjamin pensyari'atan ini sementara Rasulullah bertindak sebagai pelaksana, pengarah serta penggembleng kaum Muslimin sesuai dengannya. ­Allah Swt berfirman dalam surat al-jumu’ah: 2 sebagai berikut:
هو الذى بعث فى الامين رسولا منهم يتلوا عليم ءايته ويزكيهم ويعلمهم الكتب والحكمة (الجمعة: ٢)
Artinya: "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah." (al-Jumu'ah: 2)

Kelompok kaum Muslimin terdiri dari dua bagian: pertama mereka yang berada di tanah air, rumah dan harta mereka sendiri. Tidak  ada yang mereka pentingkan dari hal itu selain layaknya seorang yang berada dalam kondisi aman di kelompoknya. Mereka ini adalah kaum Anshar. Di antara mereka terjadi hubungan yang tidak mesra dan permusuhan bertahun-tahun lalu. Di samping mereka ini, terdapat kelompok lainnya yaitu kaum Muhajirin. Mereka tidak memiliki apa yang dimiliki oleh kaum Anshar tersebut bahkan keberadaan mereka di Madinah berkat meloloskan diri. Mereka tidak memiliki tempat untuk berlindung, tidak memiliki pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup mereka dan tidak pula punya harta sehingga dapat mencapai taraf kehidupan yang layak. Jumlah mereka yang mengungsi ini tidaklah kecil, setiap hari selalu bertambah. Setiap dari mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya telah diizinkan untuk berhijrah.[2]
Kota Madinah tidak memiliki kekayaan berlimpah sehingga dengan adanya kondisi itu membuat neraca ekonomi mereka terguncang. Dalam saat-saat genting seperti ini, rupanya kekuatan musuh Islam telah pula melakukan semi embargo ekonomi sehingga karenanya berkuranglah pasokan barang-barang dari luar dan kondisipun semakin kritis.
             Adapun kelompok kedua, yaitu orang-orang musyrikin yang merupakan jantung kabilah-kabilah Madinah, akan tetapi mereka dapat berkuasa atas kaum Muslimin. Di antara mereka ini ada yang masih diliputi keraguan dan rasa bimbang untuk meninggalkan agama nenek moyangnya akan tetapi tidak menyimpan rasa permusuhan dan makar terhadap Islam serta kaum Muslimin. Tidak berapa lama dari kondisi itu mereka pun masuk Islam dan benar-benar ikhlas di dalam memeluk agama Allah.
Di antara mereka, ada pula yang menyimpan rasa dendam dan permusuhan terhadap Rasulullah serta kaum Muslimin akan tetapi tidak mampu melawan mereka. Bahkan, mereka terpaksa mena­pakkan rasa cinta dan ketulusan mengingat kondisi. Setiap mendapatkan kesempatan untuk berbuat makar terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin, dia pasti melakukannya. Teman-temannya dari kalangan para pemimpin yang tidak jadi mendapat jatah jabatan yang diharapkan pada kekuasaannya, juga ikut andil dan menyokong pelaksanaan rencana-rencananya tersebut. Kadangkala mereka memanfaatkan anak-anak kecil dan orang-orang lugu dari kalangan kaum Muslimin sebagai kaki tangan di dalam melaksanakan rencana-rencana mereka tersebut.
Sedangkan kelompok ketiga, yaitu orang-orang Yahudi mereka pada mulanya menyeberang hingga ke kawasan Hijaz pada masa penindasan kaum Assyria dan Romawi. Mereka ini sebenarnya adalah kaum Ibrani akan tetapi setelah lari ke Hijaz, melebur dalam kultur Arab baik dalam pakaian, bahasa maupun kebudayaan bahkan nama kabilah atau nama-nama mereka berubah menjadi kearab-araban. Bukan itu saja, antara mereka dan bangsa Arabpun telah terjadi pernikahan. Hanya saja, mereka masih menjaga ketat fanatisme kebangsaan mereka dan sesungguhnya dapat dipastikan belum berasimilasi dengan orang-orang Arab tersebut. Bahkan selalu membangga-banggakan kebangsaan Israil (Yahudi) mereka selalu mengejek orang-orang Arab dengan ejekan yang sangat keterlaluan, sampai-sampai mereka menjuluki orang-orang Ara­b sebagai Ummiyyun (orang-orang yang buta huruf) tetapi dalam makna orang-orang primitif yang lugu dan kaum hina-dina yang terbelakang.[3]
Mereka juga amat mahir di dalam seni mencari peluang kerja dan mengais rizki. Perbisnisan biji-bijian, kurma, arak dan pakaian berada di tangan mereka. Mereka memasok pakaian, biji-bijian dan khamar dari luar kota serta mengekspor kurma. Selain pekerjaan tersebut mereka juga mengerjakan pekerjaan lainnya. Mereka mengambil keuntungan dengan berlipat-lipat ganda terhadap semua orang-orang Arab. Bahkan tidak hanya sebatas itu, mereka juga me­makan riba, memberikan pinjaman kepada para sesepuh dan pemuka orang-orang Arab sehingga para pemuka tersebut mendapatkan pujian-pujian dari para penyair dan citra yang baik di kalangan manusia setelah membelanjakan harta tersebut untuk hal yang tidak bermanfaat. Mereka juga menerima penggadaian lahan tanah, tanama-tanama dan kebun-kebun dari para pemimpin tersebut. Hasil beberapa tahun kemudian sudah menjadi milik mereka.
Di samping itu, mereka juga tukang menyebarkan isu, membuat persekongkolan, tindakan kesewenang-wenangan dan kerusakan. Mereka tebarkan permusuhan dan kebencian di antara sesama kabilah Arab yang bertetangga. Mereka memperdaya sebagiannya atas sebagian yang lain dengan siasat licik tersembunyi yang tidak disadari oleh kabilah-kabilah tersebut sehingga perang berdarahpun tetap berlangsung di antara mereka. Jari-jemari mereka masih terus membakar-bakar api perang tersebut setiap kali hampir reda dan padam. Setelah tindakan memprovokasi dan memperdayai tersebut, mereka duduk sebagai penonton memandangi tanpa bersuara apa yag terjadi terhadap orang-orang Arab tersebut. Mereka membekali orang-orang arab pinjaman dengan bunga yang berat agar mereka tidak menghentikan perang akibat kesulitan dana. Dengan perbuatan ini mereka mendapatkan dua keuntungan, pertama: bisa menjaga keuntungan pilar Yahudi. Kedua: mampu pula membiayai pasar riba agar mereka dapat memakannya dengan berkali-kali lipat dan mendapatkan kekayaan yang besar.

B.     Membangun Masyarakat baru Di Madinah

Langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah setelah itu adalah mendirikan masjid Nabawi. Masjid tersebut tidak sekedar sebagai tempat untuk melakukan shalat lima waktu tetapi lebih dari itu ia adalah sebuah kampus tempat kaum muslimin mempelajari ajaran-ajaran Islam dan menerima pengarahan-pengarahan, tempat bertemu dan bersatunya seluruh komponen beragam suku setelah sekian lama dijauhkan oleh konflik dan peperangan Jahiliyyah, pangkalan untuk mengatur semua urusan dan bertolaknya pemberangkatan serta parlemen untuk mengadakan sidang-sidang permusyawaratan dan eksekutif.
“Disamping membangun masjid sebagai pusat perkumpulan dan persatuan, Nabi juga melakukan langkah lain yang merupa­kan sesuatu yang paling indah yang pernah ditorehkan oleh sejarah, yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.”[4] Ibnu al-Qayyim berkata, "Kemudian Rasulullah mempersau­darakan antara kaum Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin malik. mereka berjumlah 90 orang, separuhnya berasal dari kalangan muhajirin dan separuhnya lagi dari kalangan Anshar. Beliau mem­persaudarakan di antara mereka untuk saling memiliki dan saling mewarisi setelah mati tanpa memberikannya kepada kerabat. Hal ini berlangsung hingga terjadinya perang Badar, namun setelah Allah  menurunkan ayat:
وأولو الا رحام بعضهم أولى ببعض (الانفال: ٧٥)
Artinya: "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat)." (al-Anfal: 75).
Maka hak saling mewarisi itu dihapus sementara akad persau­daraan tetap berlaku. Persaudaraan ini mengandung pengertian leburnya fanatisme  Jahiliyyah dan gugurnya perbedaan-perbedaan nasab, warna kulit ­dan tanah air sehingga dasar Wala' dan Bar-nya hanyalah Islam. Sifat itsdr (mementingkan kepentingan orang lain atas din sendiri), saling memiliki dan keakraban berpadu di dalam persau­daraan ini dan mengisi kehidupan masyarakat baru tersebut dengan teladan-teladan yang amat menawan.
Suasana ini menunjukan betapa kaum anshar memberikan sambutan yang luar biasa, pengorbanan, itsar rasa cinta dan hati yang suci terhadap saudara-saudara mereka dari golongan muhajirin. Dipihak lain betapa kaum muhajirin demikian menghargai kedermawanan tersebut dengan sepantsnya. Mereka tidak menggunakan kesempatan dalam kesempitan dan tidak menerima dari hal itu kecuali dapat sekedar menutupi kebutuhan mereka. Sungguh persaudara ini merupakan suatu yang unik siasat yang jitu dan bijak serta solusi yang amat cemerlangterhadap berbagai problematika yang dihadapi kaum muslim.[5]

C. Perjanjian Hudaibiyah
Sudah enam tahun Muhammad hijrah. Masa-masa yang sangat sulit telah terlampaui. Kini tibalah bulan suci. Pada masa-masa seperti itu, masyarakat Arab dari berbagai pelosok, umumnya berdatangan untuk berziarah ke ka'bah. Sudah menjadi kesepakatan, kaum Qurais di Mekah harus menerima siapapun yang akan berkunjung. Seluruh perselisihan pada bulan haji itu harus dihentikan. Menumpahkan darah, dengan alasan apapun, diharamkan.
Perasaan rindu pada ka'bah mulai mengusik hati Muhammad dan orang-orang Islam. Ke sanalah setiap hari mereka menghadapkan wajah untuk bersujud pada Allah Sang Pencipta. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan kerinduan itu. Maka, Muhammad pun mengumumkan rencananya untuk pergi ke Mekah berziarah ke ka'bah.
Sekitar seribu empat ratus orang menemani Sang Rasul menempuh perjalanan itu. Mereka tidak membawa baju zirah atau perlengkapan perang apapun. Mereka mengenakan baju ihram putih, dan hanya membawa pedang bersarung-perlengkapan dasar orang Arab waktu itu setiap bepergian. Rasul juga membawa 70 unta korban. Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada Maret, 628 Masehi.[6]
Perjalanan berlangsung lancar hingga mendekati Mekkah. Di Hudaibiya, unta Muhammad yang diberinya nama Al-Qashwa, pun berhenti dan berlutut. Muhammad memutuskan rombongan untuk beristirahat di situ. Pihak Qurais yang telah mendengar kabar perjalanan tersebut menjadi bingung bukan kepalang. Menyerang rombongan Muhammad berarti melanggar kesepakatan adat. Hal demikian akan membuat Qurais dimusuhi oleh semua golongan Arab. Apalagi mereka tahu, Muhammad datang untuk menunaikan ibadah dan bukan berperang. Namun mereka juga khawatir bila Muhammad tiba-tiba menyerang Mekkah.
Qurais pun menyiapkan pasukan tempur di bawah pimpinan Khalid bin Walid yang saat itu masih kafir. Khalid adalah petempur muda yang sangat disegani kawan maupun lawan. Karena kecerdikannya, umat Islam mengalami kekalahan di Perang Uhud. Selain itu, mereka juga mengirim utusan menemui Muhammad untuk mengetahui maksud sebenarnya rombongan tersebut. Sebaliknya, Muhammad juga mengirim Usman bin Affan untuk menemui Abu Sofyan di Mekkah. Usman menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah ke ka'bah, lalu kembali ke Madinah.
Suasana sempat tegang ketika Usman tak kunjung kembali. Kaum muslimin sampai perlu membuat ikrar Rizwan siap mati bersama untuk menyelamatkan Usman. Syukurlah, itu tak terjadi. Abu Sofyan lalu mengutus Suhail bin Amir untuk berunding dengan Muhammad.
Perundingan dilakukan. Suhail tampak keras untuk memaksakan pendapatnya mengenai isi kesepakatan. Bahkan ia mengedit kalimat demi kalimat yang disusun pihak Muslim. Misalnya terhadap penulisan "Bismillahir-Rahmanir-Rahim" (Dengan nama Allah yang Pengasih dan Penyayang) di awal perjanjian. Suhail memaksakannya mengubah menjadi "Bismikallahumma" (Dengan nama-Mu ya Allah). Ia juga menolak pemakaian istilah "Muhammad Rasululllah" dan menggantinya dengan "Muhammad bin Abdullah."
Demikian pula tentang isi perjanjian. Di antaranya adalah bahwa saat itu umat Islam harus kembali ke Madinah. Mereka diizinkan untuk berziarah pada tahun depan. Selain itu, jika akan orang-orang Mekkah lari ke Madinah (untuk masuk Islam), pihak Muhammad harus menolaknya sehinga yang bersangkutan kembali ke Mekkah. Sebaliknya, bila ada orang Madinah yang lari untuk bergabung dengan Qurais di Mekkah, orang-orang Qurais tidak berkewajiban mengembalikannya. Perjanjian tersebut mengikat seluruh warga Mekkah dan Madinah. Juga mengikat Bani Bakar yang berpihak pada kubu Mekkah, serta Bani Khuza'a yang berpihak pada kubu Madinah.
Muhammad tampak mengalah dalam perjanjian itu. Hal demikian membuat gusar kaum muslimin lainnya. Umar yang paling tidak sabar. Ia menemui Abu Bakar. "Abu Bakar, bukankah dia Rasulullah. Bukankah kita ini Muslimin? Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?". Umar bahkan menyampaikan itu langsung pada Muhammad. Muhammad dengan sabar mendengarkan Umar. Namun ia kemudian menutup pembicaraan dengan kalimat: "Saya hamba Allah dan Rasul-Nya. Saya tak akan melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya." Rombongan kemudian kembali Madinah. Muhammad memang mengalah dalam perjanjian Hudaibiya itu. Tapi sebenarnya, ia baru memperoleh kemenangan besar. Untuk pertama kalinya kaum Qurais mengakui keberadaan Islam secara resmi, dan mereka juga tak dapat lagi menolak umat Islam untuk berkunjung ke ka'bah tahun depannya. Muhammad telah mengalihkan bentuk perjuangannya dari perjuangan bersenjata ke perjuangan politik.[7]

D. Sifat dan Budi Pekerti Rasul Saw
Nabi Muhammad mempunyai keistimewaan dan kesem­purnaan fisik dan kesempurnaan akhlaq juga budi pekertinya yang susah untuk digambarkan. Sebagai pengaruhnya adalah hati manusia penuh dengan rasa hormat kepadanya, Para sahabatnya mati-matian untuk mengerumuninya dan mengagungkannya, dunia tidak mengenal orang sesempurna beliau.
Orang-orang yang hidup bergaul dengan beliau sangat mencintainya sampai pada batas hayam (cinta yang luar biasa), mereka tidak peduli walaupun leher mereka harus putus dan kuku mereka copot di dalam membela beliau. Mereka mencintainya karena kesempurnaannya yang menjadi idaman, tidak pernah dikaruniakan kepada seorang pun selain beliau.
Rasulullah Saw diistemewakan dengan kefasihan lisannya keindahan retorikanya, hal itu merupakan letak keutamaannya, dan sesuatu yang telah dikenal, berperangai luwes, jelas lafadznya, ringkas bicaranya, benar maknanya, tanpa dibuat-buat. Beliau telah dikaruniai Jawami'ul kalim (kalimat ringkas tapi mengandung makna yang tepat), mempunyai mutiara-mutiara hikmah yang indah dan menguasai logat-logat orang-orang Arab, berdialog dan berbicara kepada setiap kabilah sesuai dengan logat dan bahasa mereka, tertanam padanya kekuatan luar biasa menguasai bahasa orang-orang dusun serta kefasihan penguasaan terhadap bahasa orang-orang Arab berbudaya serta menguasai keindahan sastra mereka, yang didukung dengan ­bantuan ilahi yang diberikan kepadanya melalui wahyu.
Sifat penyantun, sabar, memberi maaf pada saat mempunyai kekuatand an sabar pada saat tertimpa musibah, ini adalah sifat-sifat yang ditanamkan Allah kepadanya. Setiap orang yang penyantun pasti mempunyai kesalahan dan kekeliruan, berbeda dengan Rasu­lulllah  semakin banyak gangguan yang dihadapinya, semakin bertambah kesabaran beliau dan tidak ada kesalahan orang bodoh yang tertuju padanya kecuali menambah kemurahan hati beliau.
Aisyah berkata, "Tidaklah Rasulullah itu diberi kesempatan untuk memilih antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang termudah diantara keduanya selama tidak mengandung perbuatan dosa, apabila mengandung perbuatan dosa beliau adalah orang yang paling jauh darinya. Rasululllah  tidak membalas seseorang bukan karena untuk kepentingan pribadi, akan tetapi karena syariat Allah telah dilanggar sehingga beliau membalasnya karena Allah.” Beliau adalah orang yang paling jauh dari kemarahan dan orang yang paling cepat ridha (rela).
Sifat kedermawanan dan kemurahan hati beliau benar-benar tidak ada tandingannya; beliau dalam hal memberi seperti pemberiannya orang yang tidak takut miskin. Ibnu Abbas berkata, "Nabi'', adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan ketika jibril menemuinya, Jibril menemui­nya setiap malam dari bulan Ramadhan untuk mengajarkan kepada­nya al-Qur'an. Kemurahan hati Rasululllah dalam memberikan suatu kebaikan, lebih cepat dari pada angin yang bertiup kencang."[8] Keberanian, kejantanan, kekuatan dan kepahlawanan beliau di saat berhadapan dengan musuh sudah tidak diragukan lagi, beliau adalah orang yang paling berani, menghadapi berbagai kondisi yang sulit, telah berulang kali para pahlawan dan para pemberani lari ketakutan dari beliau. Beliau tetap tegar dan tidak goyah, maju terus, pantang mundur dan tidak pernah gentar. Berapa banyak pemberani yang telah melarikan diri dan mundur dengan kekalahan. Ali berkata, "Apabila peperangan telah memanas dan serangan semakin seru, kami berlindung di balik Rasulullah tidak ada seorang pun yang lebih dekat dengan musuh dari pada beliau."[9]
Anas berkata, "Suatu malam penduduk Madinah dikejutkan oleh suatu suara, orang-orang menuju ketempat datangnya suara, akan tetapi Rasululllah bertemu mereka sewaktu beliau kembali dari arah suara tersebut, ternyata Rasulullah telah mendahului mereka, beliau mengendarai kuda milik Abu Thalhah yang tak berpelana, di leher beliau bergantung sebilah pedang, beliau berkata, "Kalian jangan takut, kalian jangan takut."[10]
Beliau sangat pemalu dan sangat menjaga pandangan matanya. Abu Sa'id al-Khudri berkata, Beliau lebih pemalu dari pada gadis perawan yang dipingit, apabila beliau tidak suka pada sesuatu dapat diketahui dari raut mukanya. Pandangannya tidak terpancang pada satu orang, beliau adalah orang yang selalu menundukkan pandangan, lebih lama memandang ke bawah daripada memandang ke atas, segala pandangannya merupakan pengamatan, tidak berbicara dengan seseorang dalam hal-hal yang tidak terpuji karena malu dan karena kemuliaan jiwanya. Beliau tidak mau menyebutkan nama seseorang yang beliau dengar melakukan sesuatu yang tidak beliau sukai, akan tetapi beliau berkata, "Mengapa orang-orang berbuat seperti ini."[11]
Rasululllah adalah orang yang paling adil, orang yang paling menjaga kehormatan, paling tepat perkataannya, paling dapat menjaga amanah. Hal ini telah diakui oleh kawan maupun lawan. Sebelum diangkat menjadi Nabi beliau dikenal sebagai al-Amin (yang terper­caya), dan dijadikan sebagai pemutus perkara pada masa jahiliyah. At-Turmudzy meriwayatkan dari Ali bahwa Abu Jahal berkata kepada Rasulullah, "Kami tidak mendustakanmu akan tetapi kami mendustakan (risalah) yang engkau bawa", maka Allah berfirman:
فانهم لايكذبو نك ولكن الظلمين بئاتي الله يجحدون (الانعام: ٣٣)
Artinya: "Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang­-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah." (al-An'am: 33).

Heraclius pernah bertanya kepada Abu Sufyan, "Apakah kalian menuduhnya sebagai seorang pembohong sebelum ia mengatakan apa yang telah ia katakan. Abu Sufyan berkata, Tidak.
Nabi adalah manusia yang paling rendah hati dan paling jauh dari kesombongan, beliau melarang para sahabatnya berdiri untuk menghormatinya, sebagaimana dilakukan bangsa-bangsa lain untuk menghormati raja-raja mereka. Beliau mengunjungi orang-­orang miskin dan duduk-duduk bersama orang-orang fakir, mengha­diri undangan hamba sahaya, duduk di antara para sahabatnya seakan-akan beliau salah satu dari mereka.[12]
Aisyah berkata, "Rasululllah menyambung dan menjahit sandalnya, menjahit bajunya, mengerjakan pekerjaan rumah dengan tangannya sendiri sebagaimana salah seorang dari kalian melakukan­nya di rumah, beliau seperti manusia pada umumnya, membersihkan pakaiannya, dan menyelesaikan urusannya sendiri."[13]
Beliau adalah orang yang paling menepati janji, suka menyam­bung silaturrahim, orang yang sangat pengasih dan penyayang terhadap orang lain. Orang yang paling baik dalam bergaul dan ber­perilaku, paling baik akhlaknya, orang yang paling jauh dari akhlak yang tercela, tidak berkata buruk, tidak pula suka mencela, tidak suka melaknat, tidak bersuara keras di pasar dan tidak membalas perbuatan buruk dengan keburukan pula, akan tetapi beliau memaaf­kannya dan membiarkannya. Beliau tidak membiarkan seseorang berjalan di belakangnya, tidak membedakan diri dari budak-budaknya dalam hal makanan dan minuman, suka membantu orang yang membantunya, sama sekali tidak mengatakan "hus" atau "ah" kepada pembantunya dan tidak mengeritiknya dalam apa yang dikerjakan maupun yang ditinggalkan. Beliau menyukai orang-orang miskin dan duduk-duduk bersama mereka, melayat jenazah mereka dan tidak meremehkan orang fakir karena kefakirannya.[14]

Dalam suatu perjalanan, beliau memerintahkan untuk me­nyembelih seekor kambing, salah satu di antara mereka berkata, "Aku yang menyembelihnya," yang lainnya berkata, "Aku yang menguliti­nya," yang lain lagi berkata, "Aku yang memasaknya." Kemudian Rasululllah berkata, "Aku yang mengumpulkan kayu bakarnya." Mereka berkata, "Cukuplah kami saja yang mengerjakannya. Beliau berkata, Aku tahu, bahwa hanya kalian saja cukup untuk mengerjakan­nya, akan tetapi aku tidak suka untuk diistimewakan dari kalian semua, karena sesungguhnya Allah tidak suka melihat hambanya diistimewakan dari teman-temannya. " Kemudian beliau berdiri dan mengumpulkan kayu bakar.[15]
Simaklah Hindun bin Abi Halah memberikan kepada kita gambaran tentang pribadi Rasululllah, dia berkata, "Rasululllah selalu dalam kesedihan, selalu berfikir, tidak mempunyai waktu untuk istirahat, tidak berbicara kecuali jika perlu, banyak diamnya, membuka pembicaraan dan menutupnya dengan seluruh bagian mulutnya, tidak dengan ujungnya saja, berbicara dengan Jawami'ul Kalim (perkataan singkat tapi mengandung makna yang luas), jelas, tidak berlebih-lebihan dan juga tidak mengurangi-nya, lembut perkataannya, tidak kasar dan tidak pula remeh.
Beliau selalu mensyukuri nikmat walaupun sedikit, tidak mencela sesuatu, tidak pernah mencela makanan yang beliau rasakan dan tidak pula memujinya. Tidak ada yang dapat meredakan kema­rahannya apabila kebenaran dihujat sehingga beliau memenangkannya, tidak marah dan tidak membela dirinya sendiri akan tetapi beliau memaafkan, apabila menunjuk pada sesuatu, beliau menunjuk dengan seluruh jarinya, apabila takjub (kagum) terhadap sesuatu beliau membalik telapak tangannya, apabila marah menghindar dan berpaling, dan apabila gembira menundukkan pandangannya. Keba­nyakan tawa-nya adalah senyum, berkilau seperti tetesan embun.[16]
Beliau selalu menahan lisannya kecuali pada hal-hal yang ber­manfaat baginya, mempersatukan para sahabatnya dan tidak memecah belah persatuan mereka, menghormati orang yang terhormat pada setiap kaumnya dan memberikan wewenang kepadanya untuk mengatur kaumnya. Memberikan peringatan kepada orang-orang dan menjaga diri dari mereka tanpa menyembunyikan sifat kemanu­siaannya dari salah satu di antara mereka.
Selalu menanyakan sahabat-sahabatnya, dan bertanya kepada orang-orang tentang permasalahan mereka, memuji kebaikan dan membenarkannya, mencela kejelekan dan menghinakannya, sederha­na, tidak suka menyelisihi, tidak lalai karena khawatir mereka akan lalai atau bosan, setiap keadaan yang ada pada dirinya merupakan hal yang biasa, tidak kikir dalam menyampaikan kebenaran dan tidak pula melampaui batas.
Orang-orang yang dekat dan cinta kepadanya adalah orang yang terbaik di antara mereka, orang yang paling utama baginya adalah orang yang paling banyak nasihatnya dan orang yang paling agung baginya adalah orang yang paling banyak bantuan dan pertolongan­nya. Rasululllah tidak duduk dan berdiri kecuali dalam keadaan berdzikir, tidak duduk pada suatu tempat yang istimewa, apabila telah sampai pada suatu kaum beliau duduk pada tempat duduk yang tersisa dan memerintahkan untuk melakukan hal yang serupa.
Memberikan kepada setiap teman duduknya akan haknya sehingga teman duduknya tidak menganggap bahwa ada seseorang yang lebih dihormati dari pada dirinya. Siapa saja yang duduk atau berdiri bersamanya karena memerlukan bantuannya, beliau bersabar menunggunya hingga orang tersebut pergi dengan sendirinya, tidak ada seorang pun yang meminta kepadanya sesuatu yang ia butuh­kan, kecuali beliau memberinya atau menolaknya dengan perkataaan yang halus. Orang-orang merasa senang dengan keutamaan dan kebaikan akhlak yang dimilikinya, sehingga beliau seakan-akan bapak bagi mereka, mereka saling mendekat kepada beliau dalam kebenaran dan berlomba-lomba untuk mendapatkan keutamaan di hadapannya dengan bertaqwa, majlis mereka adalah majlis yang penuh dengan keramah-tamahan, malu, sabar dan amanah, tidak ada di dalamnya suara yang keras, tidak ada perbuatan maksiat dan tidak ditakutkan akan adanya kesalahan di dalamnya. Mereka saling mencintai karena taqwa, menghormati yang lebih tua, mencintai yang lebih muda, membantu orang yang membutuhkan dan meng­hibur orang yang terasing.
Rasululllah selalu bergembira dan berakhlak mulia. Lemah-lembut tutur katanya, tidak kasar dan tidak keras suaranya, tidak berkata keji, tidak mencela, bukan seorang pemuji, selalu mengabai­kan hal-hal yang tidak beliau sukai dan beliau tidak pernah berputus asa. Beliau telah meninggalkan untuk dirinya sendiri tiga perkara: meninggalkan riya', meninggalkan sikap berlebih-lebihan dan mening­galkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya. Dan telah meninggalkan untuk orang lain tiga perkara: tidak mencela seseorang dan tidak menghinanya, tidak membuka aibnya, dan tidak berbicara kecuali pada perkara-perkara yang diharapkan pahalanya. Apabila berbicara membuat orang-orang yang duduk disekitarnya terdiam, seakan-­akan di atas kepala mereka ada burung, apabila beliau diam mereka baru berbicara, mereka tidak saling berebut untuk berbicara di hadapan beliau, kalau ada orang yang berbicara di hadapan Rasulullah mereka diam mendengarkannya hingga ia selesai berbicara, beliau tertawa pada hal-hal yang mereka tertawa karenanya dan mengagumi pada hal-hal yang mereka kagumi. Beliau bersabar dalam mengaha­dapi orang asing yang bebicara kasar, beliau berkata, "Apabila kalian bertemu dengan orang yang membutuhkan bantuan maka bantulah ia." Beliau tidak mencari pujian kecuali dari orang yang tidak berlebih-lebihan dalam memuji.[17]
Kharijah bin Zaid berkata, "Nabi adalah orang yang paling terhormat dalam majlisnya, hampir tidak ada perkataannya yang keluar, banyak diamnya, tidak berbicara pada hal-hal yang tidak perlu, berpaling dari orang yang berkata tidak baik, tertawanya adalah senyum, perkataannya jelas, tidak berlebih-lebihan dan juga tidak menguranginya, dan tawa para sahabatnya pada saat bersama beliau adalah tersenyum karena menghormati dan mencontoh beliau."[18]
Nabi  memiliki sifat-sifat yang sempurna yang tak ada bandingnya. Allah telah mendidiknya dengan sebaik-baiknya. Allah berfirman kepadanya sebagai pujian terhadapnya:
وانك لعلى خلق عظيم (القلم: ٤)

Artinya: "Dan sesung­guhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (al-Qalam: 4).

Sifat-sifat inilah di antara hal-hal yang dapat mendekatkan jiwa, kemudian menimbulkan kecintaan dalam hati, dan menjadikan-nya sebagai panglima yang setiap hati cenderung kepadanya, menunduk­kan watak kaumnya yang sebelumnya enggan untuk menerimanya, sehingga mereka berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah.
Sifat-sifat yang kami sebutkan tadi merupakan goresan ringkas dari kesempurnaan dan keagungan sifatnya, adapun hekekat keagungan dan kesempurnan yang dimilikinya merupakan perkara yang tidak bisa diketahui dan tidak bisa diukur kedalamannya, siapakah yang dapat mengetahui hakekat orang yang paling agung di dunia ini yang telah mencapai tingkat kesempurnaan yang paling tinggi, berjalan di bawah cahaya Ilahi, sehingga akhlaknya adalah al­Qur' an.


[1]Ziauddin Sardar, Muhammad Saw Pemimpin Kita, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 49.
[2]Muhammad Syafii Antonio, Muhammad Saw, The Super Leader Super Manager, (Jakarta: Pro LM, 2004), hal  27.
[3]Abu Hasan ’Ali al-Hasani an-Nadwi, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad Saw, (Bandung: Mardhiyah Press, 2003), hal. 74.
[4]Ibid, hal. 102
[5]Ziauddin Sardar, Muhammad Saw Pemimpin Kita,.. hal. 89.
[6]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2001), hal. 189.
[7]Ibid, hal. 191.
[8]Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi, (Semarang: Risalah Gusti, 2005), hal. 97
[9]Sami bin Abdullah al Magluts, Atlas Perjalanan Hidup Nabi Muhammad, (Solo: Almahira, 2001), hal. 46.
[10]Ahmad Rofi’ Usmani, Wangi Akhlak Nabi, Kisah-kisah Teladan Rasulullah Saw Tentang Cinta, Persaudaraan dan  Kebaikan,  (Bandung:  Mizan, 2006), hal. 27
[11]Ibid, hal. 45
[12]Line Production, Percikan Kisah Nabi Muhammad Saw, (Jakarta: Little Serambi, 2005), hal 297.
[13]Ahmad Rofi’ Usmani, Wangi Akhlak Nabi: Kisah-kisah Teladan Rasulullah Saw Tentang Cinta, Persaudaraan dan  Kebaikan,…hal. 97
[14]Adnan Ath-Tharsyah, Yang Disenangi Nabi & Yang Tidak Disukai, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal 58.
[15]Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi,… hal. 97
[16]Sami bin Abdullah al Magluts,  Atlas Perjalanan Hidup Nabi Muhammad, … hal. 49.
[17]O. Hashem, Muhammad Sang Nabi, Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail,  (Solo: Ufuk, 2000), hal. 67.
[18]Ibid, hal. 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar