Senin, 02 Mei 2011

PERSPEKTIF TEORITIS TENTANG MADRASAH ALMUSLIM DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


A.   Sejarah Madrasah Almuslim

Sesudah mengajar secara dayah, baik sebagai Teungku dirangkang di Cot Meurak, Bireuen, maupun sebagai Teungku dibalee dikampungnya sendiri, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, masih ingin mendalami ilmunya dalam bidang ilmu falak. Beliau mendengar bahwa di Sumatera timur ada seorang ulama besar yang mahir dalam bidang ilmu falak, yaitu Syeikh Hasan Ma`shum. Dengan ditemani oleh tiga orang temannya waktu belajar dan mengajar di Cot Meurak, Bireuen, yaitu: Teungku Ahmad Lampupok dari Aceh Besar, Teungku Arifin Samalanga dan Teungku M. Husin Niron, Sibreh, Aceh Besar.[1]
Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap berangkat ke Sumatera Timur. Mula–mula menuju Tanjung Pura, ibu kota kerajaan Langkat, menemui Tuan Syeikh Usman, Qadli Sulthan Langkat untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka, yaitu untuk memperdalam ilmu Falak.
Tuan Syeikh menyuruh mereka menemui langsung kepala sekolah. Keputusan kepala sekolah tidak dapat menerima Teungku Abdurrahman dan kawan-kawanya. Pertama karena umur mereka sudah tidak sebaya dengan pelajar-pelajar yang sudah ada dan kedua karena mereka di anggap sudah dapat mengajar di sekolah itu. Kepala sekolah menganjurkan kepada mereka supaya lansung saja ke medan untuk berguru kepada tuan syeikh Hasan Ma`shum, yang kira-kira masih pantas menjadi guru mereka dengan meminta waktu tersendiri. Anjuran itu dituruti, tetapi ternyata sampai ke medan, tuan syeikh Hasan Ma`shum sudah penuh waktunya, sehingga ia tidak dapat memberikan waktu yang khusus, melaikan disuruh ikuti saja bersama-sama dengan para pelajar lain.
Sesudah dicobanya, ternyata pelajaran yang diberikan masih rendah, sesuai dengan tingkat pengetahuan para pelajar yang sudah ada lebih dahulu. Lalu Teungku Abdurrahman dan kawan-kawannya memutuskan untuk kembali lagi ke Tanjung Pura. Mereka tinggal di sana selama lebih kurang enam bulan lamanya. Selama itu Teungku Abdurrahman memperhatikan cara belajar dengan memakai bangku dan papan tulis yang menurut penyelidikannya jauh lebih efektif dibandingkan dengan cara belajar halaqah.[2]
Sepulangnya dari langkat, Teungku Abdurrhman berminat akan mengajar cara sekolah. Untuk ini beliau sudah menyediakan sepetak kebunnya sendiri di Meunasah Meucap. Kebetulan seorang kawan Teungku Abdurrhman bernama Teungku Harun, mengajak untuk membeli sepetak kebun merica di kampong Tiengkeum, kecamatan Gandapura yang mau dijual oleh seorang penduduk disana, sedang harga merica pada waktu itu sangat baik. Akhirnya teungku Abdurrhman jadi membeli kebun merica itu, kemudian berita ini sampai kepada Nek Ben, Zelfbestuurder Van Gelumpang Dua (Gandapura sekarang).[3]
Nek Ben memanggil teungku. Qadlinya bernama Teungku H. Nyak dan menyuruhnya menjajaki apakah Teungku Abdurrhman yang sudah membeli kebun merica itu mau mengajar di daerah Geurugok, Teungku H. Nyak segera menemui Teungku Abdurrhman untuk menyampaikan pesan Nek Ben. Teungku Abdurrahman menjawab bahwa mengajar itu memang pekerjaannya dan dimana saja tidak keberatan. Hanya karena beliau adalah rakyat Peusangan, maka kalau mau mengajar diluar Peusangan, harus minta izin dulu pada Ampon Chik Peusangan. Dalam hal ini teungku H. Nyak yang harus meminta izin kepada beliau. Teungku H. Nyak pun segera menghadap teuku H. Chik Peusangan untuk meminta izin dimaksud atas nama Nek Ben Geurugok.
Ampon Chik Peusangan menjawab akan merundingkan dulu dengan teungku Abdurrhman Meunasah Meucap sendiri. Beberapa hari kemudian Ampon Chik Peusangan mengundang Teungku Abdurrhman Meunasah Meucap, Teungku. H. M. Amin, Qadli Negeri Peusangan dan Teungku. Abdul Razak Jangka untuk datang ke “Rumoh Geudong“ (Kediaman Ampon Chik). Sudah tiga kali mereka datang, belum juga di singgung-singgung mengenai pendirian sekolah, baik oleh Ampon Chik, maupun oleh Teungku Abdurrhman, masing-masing menunggu. Ampon Chik hanya asyik menceritakan kemajuan daerah-daerah lain di luar Aceh, di Jawa dan di Sumatra Barat. Pada saat itu, Teungku Abdurrhman dijumpai oleh Teungku. Daud Beureueh yang pada waktu itu sedang mengajar di dayah Uteun Bayi, Lhokseumawe yang didirikan oleh Maharaja Lhokseumawe.   
Teungku Muhammad Daud menyampaikan gagasan Teungku syeikh Abdul Hamid yang lebih terkenal dengan sebutan Ayah Hamid. mengenai pembaharuan cara pendidikan agama yang disampaikan via Teungku. Abdullah Ujong Rimba dari Mekkah. Pesan itu disampaikan dengan menulis tangan dalam majalah bahasa Arab yang terbit di Mekkah dan dikirim kepada Teungku. H. Abdullah Ujong Rimba di Sigli. Pucuk di cinta ulam tiba. Minggu keempat rupanya Ampon Chik Peusangan tidak sabar lagi. Lalu menanyakan pendapat ketiga ulama tersebut tentang pendirian sebuah sekolah agama di Peusangan.[4]
Tentu saja mereka sangat setuju. Mereka memang sudah menunggu-nunggu, dengan maksud kalau Ampon Chik yang mengemukakan, tentulah akan mudah kiranya meminta fasilitas–fasilitas yang di perlukan, di banding kalau yang mengajukan itu Teungku Abdurrhman sendiri. Firasat beliau, memang sudah ada, karena sudah memperkirakan, bahwa Ampon Chik Peusangan tidak akan mengizinkannya pindah ke landschap lain di luar Peusangan dan mesti akan mengusahakan berdirinya sekolah atau dayah di Peusangan sendiri.[5]
Demikianlah pada tanggal 22 Jumadil Akhir 1348 Hijriah, bertepatan dengan 24 November 1929 Masehi. Dilangsungkan suatu rapat yang menghasilkan terbentuknya sebuah organisasi bernama Jam`iah Almuslim dengan susunan pengurus adalah sebagai berikut:
            Ketua               : Teungku. Abdurraman Meunasah Meucap
            Wakil Ketua    : Teungku. H. M. Amin Bugak
            Sekretaris        :  Engku Nurdin
            Bendahara       :  Guru Husen [6]

Anggaran dasarnya  baru selesai dibuat pada tanggal 2 januari 1930 sebagai juga UUD 1945 baru disahkan pada 18 Agustus 1945. Kebetulan pada tahun 1929 itu, Ampon Chik Peusangan baru saja mengawinkan puterinya yang pertama Cut Ramlah dengan Zelfbestuurder Van Keuretoe, T. Ali Basyah. Perayaan perkawinan itu diadakan selama satu minggu dan cukup meriah, Seluruh gampong memberikan macam-macam sumbangan, ada yang menghadiahkan Balee dan macam-macam lainya.
Jam’iah Al-Muslim memutuskan untuk dapat cepatnya berdiri sebuah sekolah agama yang direncanakan sebagai program pertama, untuk sementara gedung sekolah itu di bangun secara darurat saja dulu. Bahan-bahannya dapat di pergunakan kayu-kayu bekas yang dipergunakan pada acara perayaan tersebut. Lokasinya tetap dekat mesjid Matangglumpangdua (yaitu ditempat berdirinya SMP Negeri sekarang). Untuk pertama kali dibangun dua lokal dan selebaran pun di sebarkan seluruh Aceh Utara. Ternyata banyak mendapat perhatian terutama di Peusangan sendiri dan Gandapura, sehingga untuk pertama kali di buka kelas satu.
Gedung darurat selesai dibuat, pendaftaran murid selesai dikerjakan, maka pada tanggal 14 Zulhijjah 1348 H. bertepatan dengan tanggal 13 April 1930, diresmikan pembukaan Madrasah Almuslim Peusangan. Murid-murid pertama ini banyak yang besar-besar, seperti Haji Juned, Cut Hasan dan Habib Yusuf dari Gandapura, ‘Izzuddin, Mahmud Jasalek dan T. Muhammad Muda Keude dari Peusangan sendiri.[7]
Untuk tahun pertama (April 1930) di angkat dua orang guru untuk dua kelas, yaitu Habib Mahmud merangkap kepala sekolah dan Teungku. H. Ridwan yang lebih terkenal dengan sebutan Teungku. H. Cut Cot Meurak. Pada bulan Agustus 1930 diadakan penerimaan murid baru. Oleh karena itu di tambah seorang guru lagi, yaitu Teungku .H. Muhammad Abbas Bardan yang disebut juga Teungku. Di Jangka. Teungku. Abdurrahman sendiri tidak mengajar, melainkan mengurus dan mengawasi. Hampir setiap hari beliau datang dan menggantikan mengajar apabila ada guru yang berhalangan. Pada tahun 1931 ditambah tiga orang guru lagi, yaitu Teungku. Ibrahim Meunasah Barat, Teungku. M. Abed Idham Pante Ara dan Teungku. Hasan Ibrahim Awe Geutah yang khusus mengajar Khath dan Qur’an, karena selain beliau qari juga mempunyai suara emas. [8]
Sesudah pindah ke gedung permanent di jalan Teungku.Abdurraman sekarang, ditambah lagi dua orang guru yaitu, Teungku. Usman Aziz dari Lhoksukon yang baru pulang dari Normaal Islam Padang (sesudah merdeka pernah menjadi Bupati Aceh Utara dan Bupati Pidie), dan Teungku. Abdullah Geudong (Bireuen) yang kemudian terkenal dengan sebutan Teungku. Bullah MDI (alm). Teungku. Usman Aziz mengajar berbicara dan mengarang dalam bahasa Arab, Ilmu Jiwa (‘Ilmu ‘n-Nafs) dan Ilmu pendidikan (‘Ilmu Tarbiyah), sedang Teungku. Abdullah mengajar Balaghah. Pada tahun 1936 ditambah satu orang guru lagi khusus untuk kelas I, yaitu Teungku. ‘Izzuddin yang pada waktu itu masih menduduki kelas VII. Tahun 1938 ‘Izzuddin naik mengajar ke kelas II s/d kelas IV, sedang untuk kelas I di angkat dua guru lagi, yaitu Ismail Muhammad Syah dan Yahya Hanafiah Jangka. Tetapi Ismail Muhammad Syah hanya satu tahun saja mengajar.kemudian meudagang ke Samalanga setahun, kemudian memasuki Normaal Islam Instintut di Bireuen yang dibuka oleh PUSA pada tanggal 27 Desember 1939. Pada akhir tahun 1941 Teungku. Mahyiddin Yusuf dan Teungku. M. Ali Balwy selesai sekolahnya di Normaal Islam Padang dan pulang ke Aceh dan menambah tenaga guru AlMuslim.[9]
Mata pelajaran yang di berikan oleh Madrasah Almuslim selalu berkembang, disesuaikan dengan perkembangan zaman, diantaranya dapat kami sebutkan:
1.      Bahasa Arab yang diperinci :
1.       Nahwu
2.       Sharaf
3.       Muthala’ah
4.       Mudatsah ( bercakap )
5.       Insya’ ( mengarang )
6.       Imla’ ( dekte )
7.       Khath ( tulisan Indah )
8.       Mahfuzhat
9.       Balaghah.
2.      Qur’an yang diperinci :
1.       Tajwid
2.       Tafsir
3.      Hadist yang diperinci :
1.       Matan Hadist
2.       Mushthalah Hadist
4.      Tauhid.
5.      Fiqah (Fiqih)
6.      Ushul Fiqih
7.      Ilmu Akhlak
8.      Tashau.
9.      Ilmu Manthiq (logika)
10.  Tarikh Islam
11.  ‘Ilmu ‘n-Nafs (ilmu jiwa)
12.  ‘Ilmu ‘t-Tarbiyah (ilmu pendidikan)
13.  ‘Ilmu ‘l-Hisab (berhitung)
14.  Ilmu Jughrafy ( ilmu bumi )[10]

Semua pelajaran itu diberikan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu keluaran Almuslim dahulu, pandai bahasa Arab. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya di tambah mata pelajaran yang di berikan dalam bahasa Indonesia yaitu:
1.      Bahasa Indonesia
2.      Bahasa Inggeris
3.      Al-Jabar
4.      Sejarah Indonesia
5.      Menyanyi.[11]

Perlu dicatat bahwa semua matapelajaran itu tidak diberikan setiap tahun, melainkan dibagi dalam masa 7 tahun kecuali Bahasa Arab.
            Diluar roster biasa, diberikan juga:
1.      Cara ber-organisasi
2.      Latihan Pidato
3.      Olah Raga (Sepak Bola)
4.      Kepanduan (kepramukaan)
5.      Musik.[12]
Semua ini khusus kepada masing-masing yang berbakat, kepanduannya terkenal dengan nama KAMUS (Kepanduan Almuslim), kesebelasan sepak bola, juga pernah jaya dengan memakai nama KAMUS juga, dengan bintang-bintangnya, Ishak, Cadek, Zamzam dan Lain-lain. Kemudian Ishak dan Cadek ditarik masuk ke Sinar Peusangan dan paling akhir di pakai juga dalam kesebelasan Voa Bireuen yang cukup terkenal sebagai kesebelasan yang tangguh di Aceh di samping TAP Sigli. Sebagai realisasi dari pelajaran ber-organisasi, dibentuklah:
1.      Jam’iyatu ‘t-Tullaab
2.      Ruhu ‘l-Fataa
3.      M.A.S ( Murid Al-Muslim Sepakat )
4.      Imusrib.[13]

Melihat pesatnya maju Madrasah AlMuslim, sehingga para pelajarnya tidak hanya. datang dari Aceh Utara saja, maka semangat pengurus AlMuslim semakin bertambah dan diputuskanlah untuk segera dibangun gedung permanen sedangkan lokasinya ditetapkan didekat Teungku Di Glee, jalan ke Uteuen Gathom, atas tanah yang di wakafkan oleh  Ampon Chik khusus untuk mendirikan Madrasah AlMuslim. Untuk mencari bentuk yang baik dari gedung yang akan di bangun itu, diputuskan untuk mengirimkan satu team ke Sumatera Barat guna membanding-bandingkan antara gedung-gedung yang sudah ada disana.
Tim tersebut terdiri dari tiga orang, yaitu Teungku. Abdurraman Meunasah Meucap sendiri sebagai ketua, Teungku. Umar Gampong Raya sebagai tenaga ahli dan yang akan melaksanakan pembangunannya dan Haji Mustafa Salim, pimpinan Madrasah “Islamiyah” Bireuen yang berasal dari Sumatera Barat, sebagai penunjuk jalan. Pada suatu hari yang telah ditentukan,  dengan diantar oleh para pengajar dan para pelajar AlMuslim tim tersebut berangkat dari Matangglumpangdua, dengan menumpang kereta api menuju Kutaraja (sekarang Banda Aceh) untuk selanjutnya naik kapal laut dari Ulee Lheue menuju Emma Haven (Teluk Bayur) sekarang di Padang.[14]
Sepulang tim tersebut dari Sumatera Barat, diadakan rapat dan ditentukan gambar yang dipilih. Sesuai dengan hasil rapat tersebut, maka pada tanggal 10 Muharram 1350 H. bertepatan dengan tanggal 28 Mai 1931, dilansungkan acara peletakan batu pertama gedung Madrasah AlMuslim yang permanent di jalan Teungku. Abdurraman sekarang, oleh Pocut Ramlah, putri tertua dari Ampon Chik Peusangan, sedang pelaksanaan pembangunannya adalah Teungku.Umar Gampong Raya.[15]
Sebagai mana biasanya tiap organisasi mempunyai lambang, maka demikian pula Almuslim mempunyai lambang yang di pakai, baik merupakan bendera, pada peci pelajar, olah raga, kepanduan, maupun pada gedung AlMuslim sendiri yang dicor tiap pintu.
1.      Bentuk Lambang
Lambang Almuslim bentuknya segi lima berpancaran sinar matahari, kubah terbalik, dalam arti bentuk persai, kecuali yang dicor di atas pintu, maka semunya bertulisan Arab yang berbunyi Madrasah Almuslim Peusangan.[16]
2.      Arti Lembaga
a.       Warna kuning emas pada pinggir 3 mm, berarti keagungan Allah  SWT
b.      Merah darah bentuk matahari, berarti gagah berani.
c.       Tulisan Arab putih, berarti suci
d.      Merah kuning sinar matahari, berarti Qur’an dan Hadits (ahlussunnah-wal jama’ah)
e.       Warna dasar biru muda, berarti tentram, damai dan bersatu.
f.        Lima pancaran sinar matahari, berarti Islam di tegakkan atas lima rukun.[17]

Kesimpulannya, dengan kesucian dan keikhlasan, berani menegakkan Agama Allah berdasarkan Qur’an dan Hadits, menuju masyarakat Peusangan yang cerdas, bersatu, aman dan tenteram di ikat oleh ukhuwah islamiyah yang abadi.
3. Almuslim pada zaman Jepang
Pada tanggal 7 maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda yang di kepalai oleh Tjarda sebagai Gubernur Jendral, telah menyerah kepada Jepang di Jawa. Tapi Jepang baru masuk ke Aceh pada tgl 12 Maret 1942 dari dua tempat, yaitu di Ujoeng Batee (Aceh Besar) dan Kuala Bugak (Aceh Timur). Tentara Jepang yang mendarat di Ujoeng Batee, baru tiba di Bireuen tanggal 13 Maret dan besoknya tanggal 14 Maret baru berangkat, sehingga sebahagian ke Takengon dan sebahagian ke arah Timur, melalui Matanggulumpang Dua, ibukota negeri Peusangan.[18]
Jepang mengetahui pemerintahan di Indonesia sesuai dengan zaman perang lebih-lebih lagi pada waktu itu Jepang sedang menghadapi musuh yang sangat kuat terdiri dari berbagi bangsa yang bergabung dalam melawan Jepang yang hanya mempunyai dua bangsa, sebagai kawan, yaitu Jerman dan Itali, sedang selebihnya kecuali beberapa negara kecil yang netral, adalah bergabung menjadi sekutu untuk melawan tiga bangsa tersebut. Sekutu terdiri dari lima negara besar, yaitu: Amerika Serikat, Uni Sovyet, Inggris, Perancis dan Cina Nasionalis, ditambah dengan sejumlah negara-negara kecil, termasuk Belanda.[19]
Sudah lumrah pada zaman perang, apalagi perang dunia, segala sesuatu itu macet, terutama bidang pendidikan kecuali pendidikan kemiliteran dan olahraga. Tenaga semua di kerahkan untuk persiapan melawan musuh dalam hal ini tidak kecuali Madrasah Almuslim Peusangan. Waktu lebih banyak di gunakan untuk gotong-royong dari pada belajar. Jam’iah. AlMuslim pun turut terbengkalai, sehingga kekayaannya sukar diurus sebagaimana biasa. Persatuan yang terpadu, kini menjadi porak-poranda, karena situasi perang menimbulkan rasa curiga antara satu golongan dan golongan yang lain. Hal semacam ini tentu tidak menguntungkan sama sekali.
4Almuslim Sesudah Proklamasi
Sebagai akibat dijatuhkan bom atom oleh pihak sekutu di negeri Jepang sendiri, yaitu dikota Hiroshima dan Nagasaki, yang mengakibatkan kehancuran yang tidak ada taranya. Maka Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945 menyerah kalah kepada sekutu. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia untuk bergerak melepaskan diri dari semua penjajah. Demikianlah pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia kepada seluruh dunia.Tapi karena pemerintahan pada masa Jepang, Sumatera dan Jawa terpisah, masing-masing takluk langsung ke Saigon. Maka berita Proklamasi Indonesia itu lambat sampai ke Sumatera terutama ke Aceh. Aceh secara resmi baru mengetahui berita kemerdekaan itu pada bulan September 1945, meskipun tentunya ada perseorangan yang sudah mengetahui sebelumnya, tapi tidak berani bicara karena Jepang dalam kenyataan masih berkuasa.[20]
Proklamasi 17 Agustus 1945 mempunyai konsekwensi yang berat. Karena pemerintah Belanda masih ingin kembali menjajah Indonesia dan rupanya juga mendapat bantuan dari sekutu, terbukti Belanda membonceng sekutu masuk Indonesia bahkan ke Aceh juga. Oleh karena itu, begitu berita proklamasi diterima di Aceh, semua rakyat siap sedia berlatih, menjaga pantai dan membentuk barisan perjuangan seperti Mujahiddin dan Pesindo.[21] Dengan demikian, AlMuslim belum sempat dikelola kembali sebagaiamna dahulu kala, meskipun tentunya sudah lebih baik dibandingkan dengan pada masa Jepang.
Untuk menambah senjata perjuangan, rakyat Peusangan melucuti tentara Jepang di Geulanggang Leubu, sehingga pertempuran Krueng Panjoe cukup dikenal, tentara Jepang dari Aceh yang sudah berangkat ke Medan, diperintahkan kembali ke Aceh untuk mengambil senjata yang telah jatuh ke tangan rakyat. Banyak tentara Jepang yang mati dalam pertempuran itu disamping sejumlah rakyat juga turut syahid. Disamping Mujahiddin dan Pesindo, juga dibentuk Tentara Pelajar Islam yang terdiri dari pelajar-pelajar S.R.I Bireuen dan pelajar-pelajar Almuslim kelas V ke atas. Gedung Almuslim sebagiannya dipakai untuk keperluan Tentara Pelajar Islam tersebut.

5. Terbentuknya Yayasan Almuslim Peusangan
Generasi penerus Kecamatan Peusangan yang selalu mengikuti perkembangan Peusangan, melihat bahwa dengan diserahkan kepada Pemerintah Madrasah Almuslim, maka Jam’iah Almuslim yang sudah berjasa itu, hampir saja lenyap, karena kegiatannya sudah tidak ada. Sesudah diadakan pembicaraan mendalam, maka diputuskanlah bahwa Jam’iah Almuslim itu harus dihidupkan kembali, tetapi harus merupakan badan hukum sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk menghadap notaris membuat akte ditunjuklah:
1.      Said Umar Mahmud, Camat waktu itu sebagai pegawai yang diperbantukan pada daerah Swatantra Tk. I Aceh.
2.      Alamsyah Abdullah, waktu itu pegawai Keuangan Daerah Swatantra Tk. I Aceh
3.      Budiman Hasan, Guru Sekolah Guru Bawah (SGB) Negeri di Kutaraja.
4.      Zainal Abidin Syah, pegawai Daerah Swatantra Tk. I Aceh
5.      Tgk. H.M. Ali Balwy, Wakil ketua DPRD Swatantra Tk. I Aceh
6.      Teuku Hasan, pegawai Dinas Perikanan Darat Daerah Swatantra Tk. I Aceh.[22]

Untuk pertama kali diangkat sebagai pengurus Yayasan tersebut adalah:
1.      Ketua                          : M. Nur Nekma
2.      Wakil ketua               : Ismail Hasan
3.      Sekretaris                  : Said Umar Mahmud
4.      Wakil Sekretaris       : M. Hasan Ali
5.      Bendahara                 : Mohammadar
6.      Anggota                     : Alamsyah Abdullah
7.      Anggota                     : Budiman Hasan
8.      Anggota                     : Zainal Abidin Syah
9.      Anggota                     : Mukhtaruddin Hamzah
10. Anggota                     : Encik Hawiyah
11. Anggota                     : Ahmad Thahir.[23]

Selanjutnya dalam Akte Notaris No. 18 tanggal 18 Maret 1959 itu disebutkan juga Badan Pengawas Yayasan yang terdiri dari:
a.      Ketua                                     : Tgk H. M Ali Balwy,
b.      Wakil ketua              : Tgk. Hasan Ibrahim
c.      Sekretaris                  : Teuku Hasan,
d.      Wakil sekretaris       : Tuan Muhammad Syah
e.      Pembantu                  : Tgk. Mahyuddin Yusuf
f.       Pembantu                  : Tgk. Zakaria Ahmad
g.      Pembantu                  : Tuan Ismail Ibrahim.[24]


Sesuai dengan tujuan jam’iya Almuslim, maka pengurusnya selain dari pengelola madrasah almuslim, juga katif mengadakan rapat-rapat umum untuk memberikan penerangan agama kepada masyarakat. Dalam rapat-rapat umum itu selain dari amar makruf nahi mungkar juga dianjurkan supaya ditempat-tempat tertentu didirikan cabang madrasah Almuslim. Anjuran itu mendapatkan sambutan yang menggembirakan, sehingga dimana-mana berdiri cabang madrasah Almuslim, seperti di Balee Setui,  di Cot Meurak, di Cot Batee, di lueng Daneun, di Krueng Baroe, di Uteuen Gathom, di Bugak, di Leubu dan di Blang Bladeh. Pembukaan cabang-cabang ini sangat di perlukan, karena selain dari pemerataan juga karena madrasah Almuslim induk sendiri di Matangglumpang Dua sudah tidak dapat lagi menampung pelajar yang berdatangan tidak hanya dari seluruh Aceh, melainkan juga dari seluruh Sumatera, bahkan ada yng dating dari luar negeri yaitu dari Malaysia.
Berbeda dengan pemerintah colonial yang tidak mau tahu mengenai sekolah agama, maka pemerintah Indinesia yang berfalsafah Pancasila, selain sekolah umum sekolah agama juga mendapat perhatian pemerintah. Bahkan pada tanggal 1 November 1946, dengan satu surat penyerahan resmi yang bernama qanun penyerahan sekolah-sekolah agama kepada pemerintah daerah Aceh, hamper 180 buah madrasah diseluruh Aceh diserahkan kepada pemerintah daerah Aceh menjadi sekolah negeri dengan nama S.R.I.N (Sekolah Rendah Islam Negeri), di antaranya termasuk madrasah Almuslim Peusangan. Sejak itu semua biaya ditanggung oleh pemerintah daerah dan guru-gurunya menjadi pegawai negeri. Hal ini sangat menguntungkan karena para pengurus Almuslim sudah ringan bebannya, juga para guru suda lebih terjamin gajinya.   
Hal tersebut berjalan dengan aman dan tenteram sampai penyerahan kedaulatan. Hal ini desebabkan oleh karena Aceh sebelum penyerahan kedaulatan tanggal 27 desember 1949, pemerintah Aceh dapat bertindak sendiri menurut yang dipandang baik, bahakan pemerintah daerah dapat membantu pemerintah pusat seperti pebiayaan pejuang-pejuang kita diluar negeri.
Sejak penyerahan kedaulatan status S.R.I.N mulai goyah, bahakan sesudah Negara kesatuan, beberapa kali depertemen agama kepada kepala penjabat agama di Aceh, supaya S.R.I.N diserahkan saja kepada PP dan K menjadi S.R.N, karena di Jawa pada waktu itu tidak ada sekolah agama yang diurus oleh pemerintah. Tetapi berkat perujangan yang gigih, maka pada tahun 1952 kedudukan S.R.I.N menajdi kuat kemabali, dengan keluarnya penetapan menteri agama tanggal 24 Desember 1952 No. 43 yang di dalamnya tercantum bahwa kurang lebih 200 S.R.I mendapat formasi dan biaya peralatan dan buku-buku pelajaran. Kemudian lebh cerah lagi pada tahun 1959 dengan keluarnya penetapan menteri agama No.1 tahun 1959 sebagai dasar hukum tentang pengasuhan dan pemeliharaan S.R.I di propinsi Aceh oleh depertemen agama. Dalam surat penetapan itu tercantumkan nama-nama S.R.I di Aceh sejumlah 205 buah, di anataranya termasuk madrasa Almuslim.[25]

B.   Hakikat Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh-suburkann hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam.[26]
Al-Qur’an meletakkan kedudukan manusia sebagai Khalifah Allah di bumi. Esensi makna khalifah adalah orang yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin alam. Dalam hal ini manusia bertugas untuk memelihara dan memanfaatkan alam guna mendatangkan kemaslahatan bagi manusia. Agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah secara maksimal, maka sudah semestinyalah manusia itu memiliki potensi yang menopangnya untuk terwujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi tersebut meliputi potensi jasmani dan rohani.
Potensi jasmani adalah: meliputi seluruh organ jasmaniah yang berwujud nyata. Sedangkan potensi rohaniah bersifat spiritual, yang terdiri dari fitrah, roh, kemauan bebas. Dengan akal yang dimilikinya itulah manusia merealisasi fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi yang bertugas untuk memakmurkannya.[27]
Di sisi lain, di samping manusia berfungsi sebagai khalifah, juga bertugas untuk mengabdi kepada Allah. Dengan demikian manusia itu mempunya fungsi ganda, sebagai khalifah dan sekaligus sebagai ‘abd. Fungsi sebagai khalifah tertuju kepada pemegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya. Fungsi ‘abd bertujuan kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah.
Untuk terciptanya kedua fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimat aim) pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai.
Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka suatu permasalahan pokok yang sangat perlu mendapat perhatian adalah penyusunan rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum. Pengertian kurikulum dalam tulisan ini adalah segala kegiatan dan pengalaman pendidikan yang dirancang dan diselenggarrakannya oleh lembaga pendidikan bagi peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar sekolah dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.[28]
Kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu: Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah). Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia). Tercapainya tujuan hablum minal’alam (hubungan dengan alam). Para ahli pendidikan Islam seperti al-Abrasyi, an-Nahlawi, al-Jamali, as- Syaibani, al-Ainani, masing-masing mereka tersebut telahh memerinci tujuan akhir pendidikan Islam yang pada prinsipnya tetap berorientasi kepada ketiga komponen di atas.[29]
Dasar utama pendidikan Islam adalah wahyu yang secara tekstual berupa al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan sifat kebenarannya yang mutlak, al- Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber motivasi sekaligus sumber materi. Sebagai sumber motivasi, keduanya mengarah pada usaha kependidikan. Penetapan arah dan tujuan pendidikan secara ideal harus bertolak darinya. Sementara itu, sebagai sumber materi, keduanya mengandung ajaran yang universal. Apa yang menjadi kandungan pendidikan harus merupakan pengejawantahan prinsip-prinsip ajarannya baik tentang Tuhan, manusia, dan alam sekitar dengan segala nilainya.[30]
Secara lebih praktis, dasar pendidikan Islam adalah ijtihad, yakni pendayagunaan akal fikiran secara optimal dan sitematis dalam merumuskan konsep kependidikan yang lebih operasional. Perumusan konsep-konsep itu harus tetap bertolak dari al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan dasar ijtihad ini pendidikan Islam diharapkan berlangsung secara dinamis dan efektif.
Dalam hal ini, Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashrif
mengemukanan dua kategori sumber pendidikan Islam sebagai berikut:
Allah mengajarkan bahwa manusia tidak bisa dengan sendirinya mendapat tuntunan menuju Ilahi dan kehidupan tidak dapat dilangsungkan secara semestinya tanpa adanya ketentuan-ketentuan yang mantap dan tidak dapat dirubah-rubah yang datangnya dari Allah, Maha Bijaksana dan Maha Tahu, pengetahuan-Nya mengatasi segalanya. Akal manusia beserta sarana-sarananya terkait secara terus-menerus dengan alam raya fisis pada tingkat pengamatan, perenungan, percobaan dan penerapan. Manusia bebas untuk bertindak semaunya dengan syarat bahwa dia tetap patuh pada al-Qur’an dan sunnah.[31]
Pendidikan Islam pada hakikatnya ditujukan untuk menciptakan pertumbuhan yang seimbang dari seluruh kepribadian Muslim melalui latihan jiwa, akal, diri yang rasional, perasaan dan indera-indera jasmaniah. Oleh karena itu, pendidikan harus mendukung pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, alamiah, linguistik, baik secara individual maupun kolektif. Dan juga harus mendorong semua aspek ini menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Dengan begitu, tujuan akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan kepasrahan secara penuh pada Allah dalam tingkat individu, komunitas dan masyarakat.[32]
Hal demikian sesuai dengan firman Allah yang menyatakan:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 !$tB ߃Íé& Nåk÷]ÏB `ÏiB 5-øÍh !$tBur ߃Íé& br& ÈbqßJÏèôÜム(الذارتات: ۵٦ -۵٧)

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku jtidak menghenaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghaendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha pemberi Rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh (QS. Adz-Dzaariyat: 56-57).


Konsep “ibadah” (penyembuhan) yang dirujukkan pada ayat di atas ditafsirkan dengan pengertian patuh kepada Allah sekaligus melaksanakan segala yang diajarkan-Nya. Menurut Sayyid Qutb semua kegiatan manusia sebagai khalifah merupakan ibadah. Penyelesaian tugas manusia yang merupakan tujuan akhir pendidikan Islam dapat dicapai melalui kepatuhan kepada Allah. Adanya kenyataan bahwa al-Qur’an menyebut Nabi-Nabi dengan hamba-hamba Allah mempunyai implikasi bahwa penyelesaian tugas manusia itu tidak dapat dipisahkan dari subyeknya sendiri yaitu kepada Allah.[33]
Dengan demikian, secara sederhana tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya pribad muslim yang mampu memikul tanggung jawab agama, bangsa dan negaranya. Dalam dunia pendidikan umum, perumusan tujuan dan obyek merupakan masalah yang sangat serius. Sejak manusia hal itu sudah menjadi bahan kajian yang tidak pernah selesai. Permasalahannya barangkali terletak pada kaitannya dengan perkembangan situasi dan kondisi. Sebagai contoh, pada zaman kuno tujuan dan sasaran system pendidikan Spartan adalah kekuatan fisik, keberanian militer, ketahanan, disiplin, kepatuhan dan semangat nasionalisme. Sedang di Athena, pendidikan ditujukan untuk kepandaian membujuk, berargumentasi dan sukses dalam kehidupan. Masih banyak versi lain mengenai tujuan pendidikan pada zaman klasik, termasuk yang dikemukakan oleh para filosof seperti Plato, Aristotele, dan lain-lain.
Landasan pendidikan Islam menurut Syahmina Zaini, mengacu kepada potensi yang ada pada diri manusia. Potensi laten dalam konsep pendidikan Islam disebut Fitrah, yang berarti kekuatan asli yang terpendam di dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi kepribadiannya, serta yang dijadikan alat untuk pengabdian dan ma’rifatullah.[34] Jadi seharusnya setiap bimbingan terhadap pengembangan fitrah, harus menuju arah yang jelas.
Berdasarkan potensi fitrah penciptaannya, maka perkembangan manusia meliputi seluruh aspek yang dibutuhkan oleh manusia meliputi seluruh aspek yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya baik dalam statusnya sebagai makhluk bertuhan, makhluk individu, makhluk sosial, makhluk bermoral, makhluk berperadaban dan sebagainya. Aspek perkembangan ini merupakan potensi yang mendukung pengembangan manusia menjadi sosok manusia seutuhnya, secara optimal dan berimbang, agar mampu menjalankan amanat dalam statusnya selaku hamba Allah maupun khalifah-Nya. Dengan demikian perkembangan manusia baru akan menjadi sempurna (insan kamil) bila pengembangan potensi dirinya yang mencakup keseluruhan aspek perkembangan itu dilakukan secara total dan maksimal.

C.  Sasaran dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan banyak tertuang dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits nabi. An-Nahlawi mengatakan bahwa pendidikan sejati atau maha pendidikan itu adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan kelebihan serta menetapkan hukum-hukum pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya, sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya.[35]
Prinsip prinsip dasar pendidikan sebagai berikut:
a.Prinsip Integrasi.
Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar-benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan-kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan. Allah Swt Berfirman dalam surat Al Qashash: 77 sebagai berikut:
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$#  (القصص : ۷۷)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar