A. Latar Belakang Internal
1. Latar Belakang Keluarga
Teungku Muhammad Ali Irsyad dilahirkan pada tahun 1921 M di Desa Kayee Jatoe pemukiman Teupin Raya, Kecamatan Glumpang Tiga Kabupaten Pidie. Beliau dilahirkan dari orang tua laki-laki yang bernama Muhammad Irsyad, sedangkan ibunya bernama Aisyah, keluarga dari turunan bapaknya adalah keturunan dari Panglima Doyen dari Aceh Besar. Sedangkan dari keluarga ibunya berasal dari keluarga ulama dari Lapang Lhoksukon yang hijrah ke Teupin Raya, maka dari darah pasangan kedua orang tuanya, mengalir darah bangsawan dan darah ‘ulama.[1]
Selama hidup, Teungku Muhammad Ali Irsyad memiliki tiga orang isteri. Isteri pertamanya Hj. Aminah (Teupin Raya). Dari isteri pertama ini, mereka dikaruniakan lima orang anak yaitu: Teungku Armia, Teungku Syakya, Hj. Fatimah, Zakaria dan Yahya. Isteri keduanya ialah Hj. Fatimah (Trieng Gadeng-Puduek), dengan isteri kedua beliau dikaruniakan tiga orang anak yaitu Marhamah, Muhammad dan Helmi. Sedangkan isteri yang ketiga adalah Hj. Fatimah (Peradeue Panteraja), dari isteri yang ketiga ini beliau dikarunia seorang anak yaitu Muazzinah.[2]
2. Latar Belakang Pendidikan
Beliau sejak kecil dididik langsung oleh orang tuanya Teungku Irsyad dalam bidang pendidikan agama dengan ketat, kemudian mengingat karena orang tuanya sebagai qadhi, salah seorang Ulee Balang Glumpang Payong pada masa Belanda, maka sudah barang tentu beliau dari lingkungan bangsawan beliau mendapat kesempatan untuk memperoleh kesempatan pendidikan umum.
Karena itu pada beliau mengalir dua pendidikan yaitu pendidikan agama yang dibimbing langsung oleh orang tuanya, kemudian pendidikan umum yang mendapat fasilitas dari jabatan orang tuanya sebagai qadhi Ulee Balang. Mengingat kedua hal tersebut, beliau mempertimbangkan kalau di rumah beliau harus mengetahui pelajaran agama dan keesokan harinya di sekolah harus berhadapan dengan guru-guru dari Belanda, maka timbullah goncangan jiwa dalam hati beliau, sehingga beliau memutuskan untuk mencari ilmu agama.
Tempat yang pertama sekali Teungku Muhammad Ali Irsyad kunjungi dalam mencari ilmu agama adalah Uteuen Bayu Ulee Glee, disana ada seorang ulama yang bernama Teungku Abdurrahman.
Pada tahun 1947 Teungku Muhammad Ali Irsyad melanjutkan pendidikannya, karena telah mendapat izin dari gurunya. Dari sana beliau melanjutkan pendidikannya ke Pulo Kiton, selanjutnya menuju Gandapura, di Gandapura beliau mempelajari ilmu falak pada salah seorang ulama yang baru pulang dari Makkah, yang telah mempelajari ilmu falak beberapa tahun lamanya. Ilmu tersebut sangat menarik perhatian Teungku Muhamad Ali Irsyad. Sekitar dua tahun beliau belajar ilmu falak pada Teungku Usman Maqam.
Pada tahun 1961, Teungku Muhammad Ali Irsyad berangkat ke Mesir. Bertolak dari Aceh menuju Jakarta, atas kesempatan yang diberikan oleh menteri agama, pada waktu itu dijabat oleh Wahid Hasyim (Bapaknya Gusdur). Beliau diterima di Dirasah Khassah yang khusus menuntut ilmu falak.
Yang mengajar ilmu falak di sana adalah seorang ulama yang sudah tua bernama Syeikh Ulaa Al-Banna. Beliau merasa heran karena selama hidupnya, dan selama mengajar menjadi guru dalam ilmu falaki as-syar’i di al-Azhar belum pernah ada seorangpun yang belajar kepada beliau yang mempunyai kemampuan yang luar biasa seperti muridnya ini (Teungku Muhammad Ali Irsyad).
Pada tahun 1966 beliau menyelesaikan pendidikan di al-Azhar dalam bidang ilmu falaki syar’i. Kemudian oleh pemimpin yang membidangi jurusan ilmu falak tersebut, memberi ijazah kepada beliau yang berkemampuan dalam ilmu dibidang hisab, ilmu hisab falaki dengan berbagai macam cara. Kemudian ilmu yang dapat mengeluarkan tentang tarikh-tarikh (pertanggalan), mengatur jadwal shalat seluruh negara, jatuh dari awal bulan qamariah atau bulan yang disyaratkan kepada ru’yatul hilal. Perjajaran bintang dan dapat mengetahui jauh bintang di manapun berada, terjadinya gerhana matahari dan bulan, penentuan arah kiblat dimanapun dan pejajaran ilmu syariah yang bersangkutan dengan ilmufalak. [3]
3. Karya-karya yang dihasilkan
Teungku Muhammad Ali Irsyad termasuk diantara ulama yang kreatif dalam mengembangkan dakwah ilmiah di Aceh. Baik itu melalui jalur pendidikan maupun penulisan, ia telah melahirkan sejumlah karya tulis yang dapat dijadikan pegangan dalam menjalankan syariat Islam. Berdasarkan data yang diperoleh di Dayah Darussa’adah. Sampai akhir hayatnya Teungku Muhammad Ali Irsyad telah merampungkan sebanyak 28 karya tulis dalam beberapa bidara ilmu, baik dalam bahasa Aceh, bahasa Gayo, maupun bahasa Arab.
Karya-karya yang dikarang oleh Teungku Muhammad Ali Irsyad diantaranya Awaluddin Ma’rifatullah (tauhid), Al-Qaidah (nahwu), Taqwimu Al-Hijri (ilmu falak) dan Ad-Da’watul wahabiyah (gerakan dakwah wahabi).[4]
4. Karir yang dicapai
Perhatian yang mendalam dan sikap keingintahuan yang tinggi yang dimilikinya membuat ia berada setingkat lebih tinggi dari kemampuann rata-rata yang dimiliki kawan-kawan seperjuangannya. Gurunya Teungku Abdul Madjid telah mengangkatnya menjadi asisten atau teungku rangkang ketika berada di Uteuen Bayu, Ulee Glee-Pidie.
Selanjutnyam ketika Teungku Muhammad Ali Irsyad berada di Gandapura (Geurugok), disamping belajar, beliau juga mengajar. Di sana beliau mengarang kitab ilmu nahwu dan sharaf. Beliau mempunyai satu ide yaitu untuk menghilangkan imej yang terjadi pada waktu itu bahwa orang yang belajar nahwu itu akan gila, jadi dalam istilah orang aceh "Pungoe Nahwu". Padahal bukan gilanya tetapi sistem belajar ilmu nahwu yang sudah diterapkan pada pertama sangat sulit dicerna oleh murid-murid yang hukan berasal dari Arab.
Pada saat beliau berada di Mesir, dengan mengambil konsentari ilmu falak, menambah sebutan di depan namanya dengan gelar Al-Falaqy yaitu sebuah gelar yang menunjukkan keahlian dalam ilmu falak.
Kemahiran dan keahliannya dalam ilmu ini membuat ia dikenal tidak saja di dalam negeri khususnya di Aceh, akan tetapi juga di almamaternya Cairo. Bahkan ia telah menyusun sebuah kalender sepanjang masa sebagai pedoman dalam menentukan waktu shalat dan berbuka puasa serta waktu imsaknya. [5]
B. Latar Belakang Eksternal
1. Kondisi Sosial Polotik
Teungku Muhammad Ali Irsyad (Abu Teupin Raya) lahir pada tahun 1921 M, pada saat itu Aceh berperang dengan Belanda dimana masyarakat Aceh dalam situasi peperangan antara putra-putra Aceh dengan serdadu-serdadu belanda untuk mewujudkan perjuangan membela kemerdekaan.
Upaya Belanda untuk meluaskan agresi mereka terhadap Aceh terhambat total selama 20 tahun. Selama itu kesultanan Aceh terus bertahan di ibu kota Keumala, dimata Belanda Ibukota tersebut merupakan pusat perjuangan Aceh dilihat secara menyeluruh. Tidak hanya karena letaknya strategis melainkan terutama karena Ibukota Keumala dengan selancar mungkin terus melaksanakan peranannya sebagai pusat koordinasi perjuangan Aceh, termasuk di bidang politik dan ekonomi.
Tidak mengherankan bila belanda mengutuskan untuk menyerang Keumala secara habis-habisan. Setelah dipertahankan sepuas mungkin, akhirnya pihak pejuang terpaksa memutuskan melepas kota tersebut. Dan memindahkan pusat kerajaan Keuribee. Dari Ribee ke kampung Padang Gaham (Padang Tiji). Selanjutnya ke Samalanga. Seperti telah diketahui, benteng Batee Ilie yang terletak di bukit luar Samalanga, yang telah tiga kali dicoba direbut oleh Van derhaijend dan pasukannya masih tetap dikuasai oleh para pejuang Aceh.
Dalam memenuhi tekat mereka untuk mematahkan perlawanan Aceh. Belanda mengangkat Jenderal Van Heutstz sebagai Gubernur yang berkedudukan di Kota Raja. Van Heutstz menetapkan sasaran utama adalah memerangi Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem. Van Heutstz berhasil memaksa Sultan memindahkan markasnya dari Samalanga ke Peudada dan berikutnya ke Peusangan, lalu ke tanah Gayo dan akhirnya Sultan kembali lagi ke Pidie. Belanda juga tidak mampu mematahkan perlawanan Sultan di Hulu Beuracan.
Akan tetapi Sultan dan Panglima Polem akhirnya menyerahkan diri karena pihak Belanda menggunakan politik kotor untuk menangkap Sultan dan Panglima Polem. Belanda mengira dengan menyerahnya Sultan dan Panglima Polem akan mengendorkan perjuangan rakyat Aceh, tetapi rakyat Aceh semakin menghebat terus perjuangannya.
Ini terlihat di Pidie sendiri setelah Sultan dan Panglima Polem menyerah serta kaum bangsawan lainnya menyerah, babak perjuangan dilanjutkan oleh kaum ulama. Ini tercatat ulama Pidie yang melanjutkan perjuangan melawan Belanda antara lain: Teungku Cot Diplieng, Teungku di Tanoh Meurah, Teungku Lam Gut dan Habib Teupin Wan.[6]
2. Kondisi Intelektual
Sesudah Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem Menyerah Belanda mengira perlawanan rakyat Aceh akan kendur. Namun perkiraan Belanda salah, perlawanan mereka dilanjutkan oleh para ulama (mujahidin). Sebetulnya kaum Aceh sendiri sudah memegang peranan pokok dalam menentang agresi belanda sejak tahun 1873.
Pergantian perjuangan yang komandai oleh para ulama yang berbasis di ayah, membuat Belanda menyuruh menutup seluruh dayah. Maka hilang pula lembaga pendidikan di Aceh pada saat itu, yang ada hanya lembaga pendidikan orang Belanda.
Sesudah dayah di tutup dan pendidikan lumpuh pada saat itu orang Aceh memikirkan cara untuk mengembalikan sarana pendidikan. Maka mengingat tersebut para petinggi Aceh pada saat itu, mengirim surat lepada pemimpin perang gerilya. Dalam surat itu ditekankan supaya disamping terus melanjutkan pemerangan, agar mereka juga berpikir tentang pembangunan kembali aktivitas pendidikan yang telah lama hancur akibat peperangan.
Menyambut surat tersebut para ulama pejuang bermusyawarah dan menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1. Sejumlah ulama dan pemimpin lainnya meneruskan perjuangan gerilya untuk menghadapi penjajah belanda.
2. Sebagian ulama lainnya diperbolehkan melapor kepada penguasa belanda dengan maksud membangun kembali lembaga-lembaga pendidikan sebagai langkah yang mendasar dalam perjuangan polotik dalam rangka mencapai kemerdekaan kembali.
Berdasarkan keputusan tersebut sebagian ulama meninggalkan perang gerilya dan berkiprah kembali dalam dunia pendidikan. Dan di Aceh juga pada saat itu penjajah belanda sudah mendirikan lembaga-lembaga pendidikannya yang tujuannya untuk menetralisir pengaruh pendidikan sekolah-sekolah agama Islam. Karena yang mendirikan sekolah tersebut penjajah Belanda yang bukan orang Islam, maka pendidikannya bersifat sekuler yang jauh dari pelajaran agama, bahkan Van Dealen menyebutkan sekolah yang mereka dirikan sifatnya adalah “bebas dari ajaran Al-Qur’an”.[7]
3. Tokoh yang Mempengaruhinya
Tokoh yang pertama sekali yang mempengaruhinya Teungku Muhammad Ali Irsyad adalah ayahnya sendiri Teungku Irsyad. Sehingga ia semenjak kecil menjadi taat beragama dan rajin beribadah dan cinta ilmu pengetahuan, lalu Teungku Abdul Madjid bin Abdurrahman di Desa Uteuen Bayu UIee Glee-Pidie. Di dayah ini ia mempelajari berbagai disiplin ilmu keislaman seperti ilmu tauhid (teologi), fiqh, tafsir, hadits, ilmu bahasa, mantiq dab tashawuf, khususnya dalam mazhab syafi’i.
Teungku H. Usman Maqam yang mengajari beliau ilmu falak ketika berada di Gandapura dan Syeikh Abdul Ulaa Al Banna, yang mengajari beliau ilmu falak ketika beliau menuntut ilmu di Mesir.[8]
C. Metode (Corak) Berfikir Teungku Muhammad Ali Irsyad
Pendirian dayah Darussa’adah didasarkan pada cita-cita Al-Qur’an dan Hadits dengan berpegang pada i’tiqad ahlussunnah wal jama’ah dengan prinsip mura’atul adh-dhamir (prinsip mempersatukan ummat dalam ikatan yang hakiki, bukan pada ikatan suku, ras dan golongan tertentu). Dalam hal aliran pemikiran ilmu Fiqh Teungku Muhammad Ali Irsyad menganut mazhab Syafi’i, akan tetapi sangat menghormati dan menjunjung tinggi serta berpegang pada mazhab arba’ah (empat mazhab yang masyhur). Sedangkan dalam ilmu tauhid Teungku Muhammad Ali Irsyad berpegang pada paham Asyi’ariah. Semenjak itu Darussa’adah terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat signifikan dalam membangun dakwah islamiyah sehingga sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat.
Dari jajaran ulama ia sangat diperhitungkan karena pikirannya yang moderat, ini terlihat disamping mengembangkan dayah tradisional, ia juga membuat suatu terebosan baru dengan membuka sekolah umum, yaitu Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama (SMP) Darussa’adah pada tahun 1984 dan Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA/SMU) pada tahun 1986. Kedua jenis sekolah ini dibuka di kampus Darussa’adah pusat Teupin Raya. Semua fasilitas yang tersedia berupa ruang belajar, kantor dewan guru, ATK, lapangan olahraga dan berbagai fasilitas lain dipergunakan secara bersama-sama baik untuk kepentingan sekolah maupun kepentingan dayah.
Upaya ini dilakukan untuk menjawab persoalan dualisme pendidikan yang berkembang di dalam mesyarakat, terutama menyangkut pendidikan agama dan sekolah. Ia juga bersikap terbuka untuk menerima siswa sekolah, khususnya laki-laki untuk tinggal di dayah Darussa’adah, baik pusat, cabang maupun asjadi (ranting) yang tersebar di seluruh Aceh. Untuk mengecap pendidikan secara komprehensif baik sekolah maupun di dayah.
[1]Darussa’adah, Riwayat Hidup Teungku Muhammad Ali Irsyad,(Teupin Raya-Sigli, Darussa’adah, 2005), hal. 1.
[2]Sabri A, dkk, Biografi Ulama Aceh Abad XX, Jilid II, Cet. 2, (Banda Aceh, BKSMT Banda Aceh, 2007), hal. 74.
[3]Ibid…
[4]IAIN Ar-Raniry, Eksiklopedi Pemukiran Ulama Aceh, (Banda Aceh, Ar-Raniry Press, 2004), hal. 294.
[5]Ibid…
[6]Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid II, Cet. IV. (Medan,Harian Waspada Medan, 2007). hal. 282
[7]Ibid…
Moga menjadi Dayah yang dapat memenuhi cahaya bagi ummat lainnya
BalasHapussaya bangga menjadi alumni darussa'adah ,,terimakasih,,izin copas,,untuk wawasan,,
BalasHapus