Kamis, 03 Februari 2011

SETTING, SOSIAL, AGAMA, POLITIK SERTA INTELEKTUAL PADA MASA SULTAN ISKANDARA MUDA

A. Setting Sosial Pada Masa Sultan Iskandar Muda

Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekkah, karena Islam masuk pertama kali ke kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekkah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan Teungku. Jika ilmunya sudah cukup dalam! Maka para Teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku Chiek.[1] Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan Tengku meunasah (Teungku Imum). Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh.
Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah.[2]
Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada. Sebagai tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang sering disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka bercocok tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi yang tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang.[3]

B. Setting Keagamaan Pada Masa Sultan Iskandar Muda
Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekkah, karena Islam masuk pertama kali ke kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama).
Sultan Iskandar Muda dari Aceh menerapkan hukum rajam terhadap puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan isteri soerang perwira. Beliau berkata: “mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak dicari”. Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dan pelaksanaan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan. Sedangkan di bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan riba diharamkan. Selain itu, di Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az Zahir (1297/1326) telah mengeluarkan mata uang emas yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi.[4]
Jejak penerapan syariah dan jalinan kerjasama institusi politik di Sumatera dengan khilafah Islam sepantasnya tak hanya sekedar menjadi romantisme sejarah atau nostalgia indah. Kedamaian dan kesejahteraan yang pernah terwujud di lintasan sejarah penerapan syariat Islam sewajarnya untuk dapat diwujudkan kembali dalam realitas kehidupan masa kini. Namun, semangat untuk meujudkan kembali kehidupan Islam dengan metode (thariqah) khilafah Islam sebaiknya disertai dengan pemahaman dan edukasi syariah yang utuh dan komprehensif. Untuk itu dibutuhkan sebuah formula atau konsep yang jelas dan bebas dari nuansa kekerasan untuk memberdayakan ummat menuju cita-cita luhur tersebut.
Para sejarahwan juga telah mencatat tentang jalinan kerja sama antara insitusi politik di wilayah Sumatera dengan penguasa muslim internasional. Kerjasama tersebut terlihat dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajarkan cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani. Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi.[5]. Keterkaitan Nusantara atau wilayah Sumatera sebagai bagian dari Khilafah kian nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra Pasai Darussalam oleh utusan Syarif Mekkah. Syarif Mekkah saat itu berwenang sebagai wali (setingkat gubernur) di dalam sistem kekhilafahan Islam.
Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh. Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma’rifatil Adyan karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan bukti bahwa, Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.[6]
C. Setting Politik Pada Masa Sultan Iskandar Muda
Heroisme dalam dinamika konteks Aceh pada masa kesultanan sebagai sultanah, negarawan, tentara sultan, dan panglima perang, hingga di masa pergerakan melawan kolonial Belanda. Di masa yang terakhir ini, sosok perempuan Aceh yang banyak disebut adalah dalam jabatannya sebagai uleebalang atau kepala pemerintahan daerah. Namun, dalam artikelnya di buku yang sama, Mardhiah Aly mengkritik kelangkaan penggambaran perempuan dalam deretan literatur mengenai Aceh yang menyebabkan kesan hanya kaum laki-laki (ulama, sultan, dan uleebalang) yang berperan dalam tataran peradaban Aceh. [7]
Yang dikategorikannya sebagai orang Melayu di abad ke-16. Meskipun di satu sisi ia menggambarkan orang Achin sebagai “orang purba sebelum kedatangan Portugis,” di sisi lain ia uraikan secara detil bagaimana setting sosial di tahun 1635 menjelang meninggalnya Sultan Iskandar Muda sebuah era baru dimana kekuasaan Achin berada di tangan perempuan. Di masa ini dalam konteks negara yang selalu siaga dari serangan kekuatan luar, sudah menjadi hal umum jika Sultan dilengkapi dengan ratusan atau ribuan pengawal, baik sebagai pengawal kerajaan maupun pengawal pribadi sultan. Mengutip pengamatan Jendral Perancis, Beaulieu, dikisahkan bagaimana kekayaan Iskandar Muda yang memiliki tiga ribu perempuan sebagai pengawal bagian dalam istana.
Kerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam  telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) .
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.[8]
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai. Dengan jatuhnya Pasai pada tahun 1524 M, Aceh Darussalam menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis. Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, pasukan Aceh tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka.[9]
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinastiUsmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh. Wilayah kekuasaan Aceh mencapi Pariaman wilayah pesisir Sumatra Barat, Perak diMalaka yang secara efektif bisa direbut dari portugis tahun 1575
Berikut ini Silsilah para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903).[10]

Penguasa Achin setelah Iskandar Muda yang naik takhta tahun 1641 adalah seorang perempuan, Taju Al-Alum. Ia naik tahta setelah Mughayat Shah meninggal dunia. Marsden memperlihatkan reaksi orang-orang berpengaruh di istana terhadap pemerintahan di bawah ratu yang mencerminkan persepsi kaum elit tentang penguasa perempuan. Hal tersebut senanda dengan apa yang dikatakan Reid mengenai impresi mereka terhadap gaya pemerintahan ratu. Tetapi Marsden melihat, meskipun ratu memerintah ia tidak mempunyai otoritas, sebab negara mempunyai sistem kekuasaan oligarkis. Sebuah sistem kekuasaan dimana aspek ekonomi negara ditangani oleh twelveorang kayas, empat dari mereka lebih superior dari yang lain, dan di antara keempatnya terdapat maharaja/chief/ ‘gubernur dari sebuah kerajaan.’ Mungkin dalam hal ini yang dimaksudkan oleh Marsden adalah uleebalang.
Meskipun demikian, tampaknya orang kaya bukan saja cenderung ‘tentram’ dengan pola pemerintahan ratu yang tenang tetapi tegas, namun juga karena penampilannya yang businesslike.Di masa Ratu Shafiatuddin, ‘gangguan’ armada Belanda mulai menguasai sebagian jalur perdagangan di Selat Malaka, dan Achin tidak aktif dalam politik luar negeri. Mundurnya ratu terakhir, Kemalat Shah, di tahun 1699 yang memerintah selama 11 tahun dari takhta, disebabkan oleh fatwa ulama yang tidak setuju terhadap pemimpin perempuan.
Bisa dikatakan, gambaran Marsden cukup lengkap melihat potret pimpinan perempuan dalam konteks sosial Aceh yang saat itu dilanda kompetisi politik dan perdagangan internasional. Episode sejarah Aceh yang mengakui kekuasaan perempuan di satu sisi mencerminkan kenyataan tentang otonomi perempuan Aceh dalam ruang kekuasaan.
Masuknya Islam membawa pengaruh besar dalam praktik sosial termasuk hukum perkawinan, perceraian, dan waris. Demikian juga dengan pembagian peran sosial di ranah publik dan privat, antara laki-laki dan perempuan Aceh yang bersumber dari interpretasi ajaran Islam. Kondisi di atas berkembang semakin kompleks, seiring dengan perkembangan zaman, pengetahuan, pola migrasi, dan bertumbuhnya aktivitas ekonomi masyarakat yang mengubah tatanan dan praktik-praktik sosial.[11]

D. Setting Intelektual Pada Masa Sultan Iskandar Muda

Agama Islam telah muncul di kepulauan Nusantara sekitar abad ke-8 dan 9 M, dibawa oleh para pedagang Arab dan Parsi. Namun baru pada abad ke-13 M, bersamaan dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (1272-1450 M), agama Islam mulai berkembang dan tersebar luas. Di kerajaan Islam besar tertua inilah peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara, Pasai bukan saja menjadi tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Parsi. Tetapi juga menarik perhatian para ulama dan cendekiawan dari negeri Arab dan Parsi untuk datang ke kota ini dengan tujuan menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan.[12]
Dalam kitab Rihlah, Ibn Batutah yang mengunjungi Sumatra pada tahun 1336 M, memberitakan bahwa raja dan bangsawan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai dari Arab dan Parsi untuk membincangkan berbagai perkara agama dan ilmu-ilmu agama di istananya. Karena mendapat sambutan hangat itulah mereka senang tinggal di Pasai dan membuka lembaga pendidikan yang memungkinkan pengajaran Islam dan ilmu agama berkembang.
Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam antara lain ialah: (1) Dasar-dasar Ajaran Islam; (2) Hukum Islam; (3) Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir dan Hadis; (6) Aneka ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tata bahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban, tarikh dan lain-lain. Selain ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam pada masa itu ialah kesusastraan Arab dan Parsi.[13]
Salah satu karya intelektual Islam tertua yang dihasilkan di Pasai ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365.[14] Dilihat dari sudut corak bahasa Melayu dan aksara yang digunakan, karya ini rampung dikerjakan pada waktu bahasa Melayu telah benar-benar mengalami proses islamisasi dan aksara Jawi, yaitu aksara Arab yang dimelayukan, telah mulai mantap dan luas digunakan. Selanjutnya bahasa Melayu Pasai dan aksara Jawi inilah yang digunakan oleh para penulis Muslim di kepulauan Nusantara sehingga akhir abad ke-19 M sebagai bahasa pergaulan utama di bidang intelektual sebagaimana di bidang perdagangan dan administrasi.[15]
Karya-karya intelektual Muslim awal yang dilahirkan di lingkungan kerajaan Samudra Pasai ialah saduran beberapa hikayat Parsi, seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Dua hikayat yang pertama adalah cerita kepahlawanan yang didasarkan atas sejarah kepahlawanan Islam pada periode awal penyebaran agama Islam. Dalam Sejarah Melayu 1607 M, Tun Sri Lanang menyebutkan bahwa dua hikayat ini sangat digemari di Malaka pada akhir abad ke-15 M dan orang-orang Malaka membacanya untuk membangkitkan semangat perang mereka melawan Portugis. Tun Sri Lanang juga menyebutkan kegemaran orang-orang Malaka dan sultan mereka terhadap tasawuf. Sebuah kitab tasawuf Durr al-Manzum karangan Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai, memenuhi permintaaan Mansur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M.[16]
Setelah Pasai mengalami kemunduran, pusat kegiatan kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah ke Malaka (1400-1511 M) dan setelah Malaka ditalukkan Portugis maka pusat kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah pula ke Aceh Darussalam (1516-1700 M). Tetapi disayangkan bahwa naskah-naskah Melayu Islam yang ditulis pada abad ke-14 dan 15 M hampir tidak ada yang sampai kepada kita sekarang Naskah-naskah yang dijumpai, sebagian besar adalah salinan atau gubahan yang ditulis pada abad ke-16 dan 17 M, khususnya di kota-kota pesisir di lingkungan kesultanan Aceh seperti Barus, Pasai dan lain-lain. Hanya saja yang jelas, sebagaimana pada zaman Hindu, sastra tampi media utama penyampaian gagasan dan ilmu-ilmu keagamaan. Kecenderungan ini terus melekat dalam perkembangan sastra Melayu hingga abad ke-18 dan 19 M.
Sejarah pemikiran Islam di Aceh dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang yaitu:
1.   Masa diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M..
2.   Masa terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). [17]
3.   Pada tahapan ini pusat-pusat kekuasaan Islam di Aceh mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.

Pada masa inilah penerjemahan sajajk-sajak pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. (al-mada`ih al-nabawiyah) dimulai, disusul dengan penyaduran kisah-kisah dan hikayat Islam Arab Persia ke dalam bahasa Melayu seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Zaman ini disusul dengan zaman peralihan, yang ditandai dengan penyalinan dan penggubahan kembali karya-karya zaman Hindu-Buddha dengan diberi suasana dan nafas Islam.
Ciri-ciri karya zaman peralihan ini sangat menarik, karena unsur-unsur Islam yang dimunculkan pada mulanya tidaklah begitu ketara. Allah Ta`ala misalnya pada mulanya disebut Dewata Mulia Raya, kemudian diganti Raja Syah Alam dan baru kemudian disebut Allah Subhana wa Ta`ala. Sebutan Yang Mulia Raya, Raja Syah Alam dan lain-lain tampak misalnya pada syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri dan murid-muridnya pada abad ke-16 dan 17 M. Demikian pula tokoh-tokoh cerita mulai diberi nama-nama Islam. Peranan dewa-dewa diganti dengan jin, mambang, peri dan makhluq halus lain. Tidak jarang pula tempat terjadinya cerita dipindah ke negeri yang rajanya telah memeluk agama Islam. Dan raja tersebut dikisahkan memperoleh kemenangan karena percaya terhadap kekuasaan Yang Satu.[18]
Akhir masa peralihan sebenarnya tidak dapat diberi batas yang jelas dalam sejarah kesusastraan Melayu Islam, karena karya-karya yang ditulis atau digubah pada abad ke-15 dan 16 M masih terus digubah kembali pada abad-abad berikutnya, bahkan sampai abad ke-19 M, baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Jawa, Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Sasak, Banjar, Minangkabau, Makassar, Mandailing dan lain-lain. Tetapi akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, bersamaan dengan berkembangnya kesultanan Aceh Darussalam sebagai kerajaan besar yang berpengaruh di Asia Tenggara,
Pada masa ini Islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya. Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan melahirkan renungan-renungan tasawuf dalam mempersoalkan hubungan manusia dengan Yang Abadi, dan perumusan sistem kekuasaan yang memunculkan kitab tentang teori kenegaraan[19] Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang pemikirannya mewarnai dan menentukan perkembangan intelektual Islam pada masa sesudahnya.
Mewakili gejala dominan pertama adalah Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (disebut juga Syamsudin Pasai) bersama murid-muridnya pada akhir abad ke-6 dan awal abad ke-17 M. Mewakili gejala kedua ialah Bukhari al-Jauhari dan Nuruddin al-Raniri, yang muncul secara berurutan pada paruh pertama abad ke-17 M, ketika Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat keagamaan, kebudayaan dan kegiatan politik Islam.
Pada masa inilah kitab-kitab keagamaan–fiqih, teologi dan tasawuf–untuk pertama kalinya ditulis secara sistematis, filosofis dan ilmiah. Begitu pula pada masa inilah untuk pertama kalinya dilahirkan puisi-puisi keagamaan, khususnya syair-syair tasawuf, yang benar-benar ekspresif dan membangkitkan kesadaran diri baru. Melalui karya-karya para sufi dan ulama Aceh abad ke-17 M inilah Islam dimaklumkan sebagai bagian dari ’diri yang sah’ dan bagian dari ’sejarah Nusantara’ yang sah pula.
Dalam gelombang kedua ini, teori kekuasaan yang bertolak dari pendekatan sufistik mulai dirumuskan. ’Negara’ tidak lagi sekadar refelksi dari kedirian sang raja tetapi juga pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan yang harmonis antara ’raja’ dan ’rakyat’, dan antara makhluq dan Khaliq”.[20]
Tokoh utama gejala pertama ialah Hamzah Fansuri, seorang sufi terkemuka, ahli agama, sastrawan besar dan pengembara. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M. Sejak akhir abad ke-16 M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh Darussalam.
Al-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu menjadi pusat studi agama Islam. Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Al-Raniri menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara.
Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah dan wilayah anak benua India, Al-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. la datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H), namun hingga kini belum diketahui secara pasti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama Islam di kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai oleh Portugis.
Raniri pernah datang ke Aceh, tetapi waktu itu tidak memperoleh sambutan dan penerimaaan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda. Dari sini, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di kawasan ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Kesultanan Aceh ketika Iskandar Muda berkuasa, ulama yang berpengaruh dan berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani. Pada masa ini paham wujudiyyah menjadi ajaran resmi kerajaan.[21]
Sementara Al-Raniri menyerukan ajaran Sunni dan menentang paham wujudiyyah jelas kurang mendapat simpati dari Sultan Setelah Syeikh Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul pula oleh Sultan Iskandar Muda dalam beberapa waktu sesudahnya, Al-Raniri memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya. Ketika itu, sultan yang berkuasa, Sultan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda, memberikan penghormatan tinggi kepada Al-Raniri dengan menjadikannya mufti kerajaan. Seperti Al-Raniri, Sultan Iskandar Tsani juga menentang paham wujudiyyah.[22]
Dengan kedudukan dan dukungan seperti ini, Al-Raniri dengan leluasa dapat memberikan sanggahan terhadap paham yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh sebelumnya, Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani. Tidak hanya itu, Al-Raniri juga sering menerima permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab agama, terutama tentang tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh. Kedekatan Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang cukup luas. Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Al-Raniri mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas paham tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama istana yang menghukumi kafir terhadap para pengikut paham wujudiyyah, sehingga boleh dbunuh. Tidak hanya sampai disini, Al-Raniri dengan penuh semangat menulis dan sering berdebat dengan para penganut paham panteisme ini dalam banyak kesempatan. Bahkan, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan sultan.
Dalam berdebat, dengan segala kemahirannya, ia berupaya keras membongkar kelemahan dan kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk bertaubat dan kembali pada jalan yang benar (Al-Qur’an dan Hadits). Namun, kegigihan Al-Raniri ini tidak banyak memenuhi target yang diharapkan. Sebab para pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sehingga akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus dihukum mati. Selain itu, untuk membumi hanguskan paham wujudiyyah, maka kitab-kitab wujudiyyah-nya Hamzah dan Syams Al-Din dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.






[1]Abdul Hadi W. M, Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hal. 75.
[2]Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara, 2002), hal. 42.
[3]Ibid, hal. 59.
[4]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:  Rajawali press, 2005), hal. 6.
[5]Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Kesultanan, (Jakarta: Insan Press, 2006),  hal. 52-53.
[6]Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. 1999), hal. 85.
[7]Lombard, Denys, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda, 1607-1636. Alih bahasa Winarsih Arifin, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 94.
[8]Jusuf Jumsari, Tajussalatin, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), hal. 86.
[9]Sardono w. Kusumo,  Aceh Kembali ke Masa Depan, (Jakarta: IKJ Press, 2006), hal 18.
[10]Iskandar, “Bukhari al-Jauhari dan Tajus Salatin”, dalam Dewan Bahasa (Jakarta: Kencan, 1976), hal.  9.
[11]Ruth Indiah Rahayu, Paradoks Putri Betung: Problem Kekuasaan Perempuan dalam Sejarah Aceh, http://64.203.71.11/kompas-cetak/0409/18/pustaka/1274073.htm, diakses tanggal pada 27 Oktober 2010.
[12]Abdul Hadi WM, “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Sardono W. Kusumo (ed.),  Aceh dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: IKJ Press, 2006)., hal. 173
[13]Muhammad Naquib, The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: University Malaya Press, 1995), hal. 2.
[14]Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2001), hal. 52.
[15]Lombard, Denys, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda, 1607-1636. Alih bahasa Winarsih Arifin, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 94.
[16]Ibid, hal. 103.
[17]Ali Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), hal. 89.
[18]Taufik, Kisah Perjuangan Ulama Nusantara, http://ulama-nusantara.bolgspot.com, diakses tanggal 27 Oktober 2010.
[19]Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (Singapura: Pustaka Nasional Singapura, 1975), hal. 73.
[20]Ali Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam…hal. 106
[21]Hussein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh (Suatu Pembahasan Atas Bahan-bahan yang Tertera Dalam Karya Melayu tentang Sejarah Kesultanan Aceh). Alih bahasa Teuku Hamid. (Banda Aceh: Proyek Rehabilisasi dan Perluasan Museum Aceh, 1979). Hal. 106.
[22]Ibid, hal. 109.